"Saya percaya, budaya baca bukan sekadar soal buku. Ia adalah soal keberanian untuk berpikir, bertanya, dan tumbuh bersama."
Prolog: Rak yang Menyemai Ingatan
Foto itu diambil lebih dari satu dekade lalu. Saya berdiri di lorong perpustakaan yang kami bangun dari nol di sebuah bank nasional tempat saya bertugas sebagai Research & Development Department Head. Di tangan saya, sebuah buku berjudul Built to Last. Di belakang saya, seorang rekan sedang membaca, dikelilingi rak-rak yang kami isi dengan harapan: agar para insan perusahaan tak hanya bekerja, tapi juga belajar.
Perpustakaan itu bukan sekadar ruang arsip. Ia adalah ruang tumbuh. Tempat pegawai bisa singgah di sela istirahat, mencari referensi untuk tugas, atau sekadar merenung lewat lembaran buku.Â
Kami tidak menunggu minat baca datang. Kami memicunya dengan ruang, dengan sistem, dan dengan semangat.
Membangun Budaya Baca di Lingkungan Korporasi
Sebagai bagian dari tugas saya di R&D, saya bertanggung jawab atas penyediaan kajian dan data pengembangan perusahaan. Tapi saya percaya, data tanpa budaya baca hanya akan menjadi angka.Â
Maka kami bangun perpustakaan, kami kurasi koleksi, dan kami dorong pegawai untuk menjadikan membaca sebagai bagian dari ritme kerja.
Salah satu program yang paling membekas adalah Bedah Buku after office hour.Â
Kegiatan ini diselenggarakan oleh Employee Club, didukung penuh oleh jajaran direksi, dan diawali dengan makan malam bersama.Â
Buku yang dibedah bukan hanya dari sisi isi, tapi juga relevansi terhadap pekerjaan dan kehidupan. Diskusi hangat, refleksi jujur, dan kadang tawa ringan, semuanya menjadi bagian dari ritual literasi yang hidup dan mengikat.
Lintas Sektor, Tapi Ruhnya Sama: Literasi sebagai Pilar Kepemimpinan