Mohon tunggu...
Asep Setiawan
Asep Setiawan Mohon Tunggu... Membahasakan fantasi. Menulis untuk membentuk revolusi. Dedicated to the rebels.

Nalar, Nurani, Nyali. Curious, Critical, Rebellious. Mindset, Mindmap, Mindful

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Kabut yang Lupa Pulang

3 Juni 2025   02:20 Diperbarui: 3 Juni 2025   02:24 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku mencintai dingin sepenuh jiwa, begitu dalam, hingga rasanya aku mulai membeku dari dalam, menjadi kristal-kristal doa yang tak pernah dijawab. Tapi dingin hanya berjalan lewat, menginjakkan beku di dadaku seolah aku lantai yang tak berarti. Ia menyayat tanpa pisau, membisu tanpa ampun, meninggalkanku menggigil dalam dialog sepi dengan dinding yang menolak gema. Mungkin aku yang sinting, berharap hangatku, yang kuperah dari luka-luka lama, bisa menetes ke relung dinginnya yang bahkan tak punya ruang. Tapi yang terjadi, aku larut... bukan mencair, bukan menguap, tapi larut, menjadi kabut yang lupa caranya pulang.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun