Latar Belakang: Krisis Kesadaran dan Kehilangan Agensi di Era Otomatisasi
Perkembangan teknologi digital, khususnya kecerdasan buatan (AI) dan otomasi berbasis algoritma, telah membawa pergeseran besar dalam cara manusia mengambil keputusan, bertindak, dan memaknai dirinya sebagai subjek yang sadar. Aktivitas yang dulunya merupakan hasil pertimbangan volisional kini banyak dijalankan secara otomatis, baik oleh sistem eksternal (seperti aplikasi yang menentukan rute, belanja, bahkan pasangan hidup), maupun oleh pola internal manusia yang dibentuk oleh kebiasaan, impresi media, dan dorongan tak sadar.
Dalam konteks ini, muncul krisis agensi---yakni hilangnya perasaan memiliki kendali atas pilihan dan hidupnya sendiri. Gejala ini dapat diamati dalam meningkatnya gangguan psikologis seperti alienasi, disasosiasi, dan kehilangan makna (meaning crisis), yang disinyalir oleh tokoh-tokoh seperti John Vervaeke. Di sisi lain, pendekatan ilmiah modern, khususnya dalam ilmu saraf dan kognitif, sering kali mereduksi kehendak menjadi sekadar ilusi atau hasil deterministik dari aktivitas neuron, sebagaimana dibahas dalam eksperimen klasik Benjamin Libet. Hal ini memperkuat anggapan bahwa manusia tidak lagi memiliki peran aktif sebagai agen kesadaran, melainkan hanya sebagai simpul reaktif dari stimulus dan data.
Namun demikian, dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam perenungan filosofis yang lebih dalam, pengalaman akan "berkehendak" tetap hadir dan menentukan tindakan. Kesadaran manusia tidak hanya mencerminkan, tetapi juga mengarahkan. Kehendak bukan sekadar reaksi, tetapi intensi. Dalam kerangka ini, dibutuhkan suatu pendekatan baru yang tidak hanya mempertimbangkan kehendak sebagai entitas biologis atau psikologis, tetapi sebagai pusat eksistensial yang berkaitan erat dengan atribut seperti kuasa (kapasitas bertindak), ilmu (kapasitas memahami), dan cinta (kapasitas mengarah pada nilai).
Rumusan Masalah
Makalah ini bertolak dari pertanyaan utama:
Apa peran ontologis dan fungsional dari kehendak dalam struktur kesadaran manusia, serta bagaimana kuasa, ilmu, dan cinta berperan sebagai atribut yang memperkaya atau menyesatkan kehendak tersebut?
Pertanyaan ini menuntut penyelidikan lintas disiplin, karena tidak dapat dijawab hanya dengan pendekatan filosofis klasik atau sains empiris semata, melainkan memerlukan sintesis antara keduanya.
Tujuan Penelitian
Tujuan utama dari penelitian ini adalah: