Mohon tunggu...
Asep Setiawan
Asep Setiawan Mohon Tunggu... Membahasakan fantasi. Menulis untuk membentuk revolusi. Dedicated to the rebels.

Nalar, Nurani, Nyali. Curious, Critical, Rebellious. Mindset, Mindmap, Mindful

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Kehendak sebagai Inti Kesadaran

14 April 2025   17:00 Diperbarui: 14 April 2025   14:54 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Neurosains menunjukkan bahwa sistem limbik yang memicu afeksi sosial (oxytocin, ventral striatum) butuh modulasi dari medial prefrontal cortex untuk menjamin bahwa cinta bukan sekadar respons naluriah, melainkan keputusan sadar yang berakar pada pengertian.

Filsafat moral menunjukkan bahwa cinta yang tidak dibimbing oleh ilmu dan kehendak bisa tersesat dalam romantisisme, yang memuja niat tanpa memedulikan akibat. Dalam konteks sosial-politik, ini menciptakan budaya baik hati tapi salah arah.

4.4 Integrasi Optimal: Kehendak yang Mencerahkan Kuasa, Ilmu, dan Cinta

Solusi terhadap fragmentasi ini terletak pada rekonstruksi integratif, di mana kehendak sadar menjadi pusat gravitasi dari atribut lainnya. Ini bukan sekadar sinkronisasi fungsional, tetapi penataan hierarki moral dan epistemik: kehendak yang tercerahkan (oleh ilmu), berdaya (melalui kuasa), dan terbuka (oleh cinta).

Dari sudut pandang filsafat eksistensial dan fenomenologis, ini berarti mengembangkan kesadaran reflektif sebagai dasar agensi manusia. Individu bukan sekadar agen biologis atau sosial, tetapi subjek yang mampu menimbang, mencinta, dan bertindak dari pusat dirinya.

Psikologi menyumbang melalui pendekatan volisional integratif---seperti dalam model Self-Determination Theory---yang menunjukkan bahwa otonomi (kehendak), kompetensi (kuasa/ilmu), dan keterhubungan (cinta) adalah fondasi motivasi sehat.

Neurosains mendukung gagasan ini melalui penelitian terkini tentang global workspace theory, yang menunjukkan bahwa kesadaran bukan sekadar hasil pemrosesan sensorik, tapi koordinasi multimodal antara niat, memori, dan nilai.

Integrasi optimal ini bukan utopia, tapi horizon normatif bagi desain AI yang etis, kebijakan publik yang manusiawi, dan relasi antarpribadi yang sehat. Di tengah krisis kesadaran di era otomatisasi, tesis ini menjadi panggilan untuk menghidupkan kembali pusat subyektivitas manusia, melalui kehendak sadar yang membimbing ilmu, kuasa, dan cinta secara serempak.

5. Implikasi dan Aplikasi

5.1 Implikasi Etis: Agensi Manusia di Era AI dan Algoritma

Di tengah laju teknologi otomatisasi, machine learning, dan pengambilan keputusan berbasis algoritma, agensi manusia mengalami erosi diam-diam. Algoritma menyeleksi berita, menyarankan pasangan, bahkan mengatur sistem peradilan dan rekrutmen kerja. Namun, dalam banyak kasus, pengguna kehilangan kesadaran akan keterlibatan kehendaknya dalam proses tersebut.

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun