Bidang neurosains telah menantang sekaligus memperkaya diskusi tentang kehendak. Eksperimen Benjamin Libet (1983) yang menunjukkan adanya readiness potential---aktivasi neural sebelum seseorang secara sadar merasa telah memutuskan---memicu kontroversi besar tentang apakah kehendak itu ilusi. Namun respons kontemporer menyatakan bahwa kesadaran mungkin tidak menciptakan keputusan, tetapi berperan dalam mengonfirmasi, menunda, atau membatalkan keputusan tersebut (konsep veto power).
Wilayah otak seperti Prefrontal Cortex (PFC) dan Anterior Cingulate Cortex (ACC) berperan besar dalam kontrol sadar, refleksi diri, dan inhibisi impuls. Aktivitas di wilayah ini berhubungan erat dengan kemampuan untuk memilih secara sadar dan bertanggung jawab---mendukung argumen bahwa kehendak bersifat biologis sekaligus reflektif.
Sementara itu, sistem limbik---khususnya amigdala dan insula---berperan dalam respons emosional, cinta, dan empati. Studi neuroscience sosial menunjukkan bahwa pengalaman cinta dan empati tidak hanya bersifat emosional, tapi juga kognitif dan prososial, melibatkan mekanisme mirror neuron yang memungkinkan manusia memahami dan merespons emosi orang lain secara afektif dan volisional.
Dengan menggabungkan ketiga pendekatan ini, kita dapat melihat bahwa kehendak tidak bisa direduksi menjadi salah satu saja: tidak hanya fenomenologis, tidak hanya psikologis, dan tidak hanya neurobiologis. Ia adalah pusat integratif dari kesadaran yang bermakna, berorientasi nilai, dan mampu berelasi dengan dunia serta sesama melalui kuasa, ilmu, dan cinta.
3. Kerangka Konseptual
3.1 Definisi Ontologis dan Fungsional: Kehendak, Kuasa, Ilmu, dan Cinta
Kehendak dalam konteks ini diposisikan sebagai fondasi ontologis kesadaran aktif. Ia adalah kapasitas entitas sadar untuk mengarahkan dirinya pada suatu tujuan atau nilai, melalui pilihan yang tidak semata reaktif tetapi reflektif. Secara fungsional, kehendak adalah inisiator dari tindakan sadar: tanpa kehendak, kesadaran kehilangan arah dan struktur.
Kuasa didefinisikan sebagai kemampuan untuk mewujudkan kehendak dalam realitas---entah melalui tindakan fisik, pengaruh sosial, atau struktur kognitif. Ia adalah ekspresi dari kehendak dalam domain operasional. Namun, kuasa dapat hadir tanpa cinta dan ilmu, menjadikannya netral secara moral, tergantung pada kehendak yang mendasarinya.
Ilmu adalah pengetahuan terstruktur dan reflektif yang memberikan terang bagi kehendak dan kuasa. Ia menyuplai kerangka bagi pengambilan keputusan dan membuka cakrawala kemungkinan serta konsekuensi. Secara fungsional, ilmu adalah penyaring yang memungkinkan kehendak menghindari kegelapan tindakan buta dan kuasa membatasi dirinya dengan rasionalitas.
Cinta dipahami sebagai relasi afektif yang aktif dan sadar, yang lahir dari keterpaduan antara kehendak yang baik, kuasa yang terarah, dan ilmu yang terang. Ia bukan sekadar emosi atau dorongan naluriah, melainkan keterbukaan etis terhadap yang lain. Secara fungsional, cinta adalah buah dan pengikat sosial dari tiga atribut sebelumnya, memungkinkan hubungan manusiawi yang otentik.
3.2 Matriks Relasional: Ketergantungan, Fungsi, dan Keterbatasan Tiap Atribut