Kesadaran bukanlah hasil dari kompleksitas otak, tetapi merupakan entitas fundamental seperti energi dan informasi.
Kesadaran beroperasi melalui hierarki realitas (holon), di mana sistem biologis berfungsi sebagai medium yang menyerap atau memanifestasikan kesadaran.
Fenomena kesadaran non-lokal menunjukkan bahwa kesadaran tidak terbatas pada substrat biologis, tetapi merupakan elemen struktural dalam mekanisme semesta.
Melalui pendekatan ini, kita tidak hanya menantang asumsi lama tentang emergensi kesadaran, tetapi juga menawarkan kerangka baru yang dapat menjelaskan asal-usul kesadaran dengan lebih akurat, konsisten secara teoritis, dan lebih luas dalam implikasinya terhadap sains, teknologi, serta filsafat eksistensi.
BAB 2. Landasan Teoritis
A. Paradigma Konvensional dalam Studi Kesadaran: Materialisme, Fungsionalisme, dan Dualisme
Studi tentang kesadaran telah lama didominasi oleh tiga pendekatan utama: materialisme reduksionis, fungsionalisme, dan dualisme interaksionis. Masing-masing menawarkan perspektif unik, namun juga menghadapi tantangan mendasar yang membuat pemahaman tentang kesadaran tetap menjadi misteri yang belum terpecahkan.
Materialisme reduksionis, misalnya, berpendapat bahwa kesadaran tidak lebih dari hasil aktivitas neuron dan proses fisik di otak. Daniel Dennett (1991) dengan Multiple Drafts Model-nya bahkan menggambarkan kesadaran sebagai ilusi yang muncul dari mekanisme otak yang kompleks. Namun, pandangan ini terbentur pada apa yang disebut David Chalmers (1995) sebagai Hard Problem of Consciousness---bagaimana dan mengapa aktivitas neural melahirkan pengalaman subjektif (qualia). Hingga kini, tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa proses fisik di otak benar-benar menciptakan kesadaran, melainkan hanya berkorelasi dengannya.
Pendekatan lain, fungsionalisme, mencoba memahami kesadaran sebagai hasil dari pemrosesan informasi, yang dalam teori dapat direplikasi oleh mesin atau sistem lain dengan fungsi serupa. Tokoh seperti Hilary Putnam (1975) dan Jerry Fodor (1980) mengembangkan gagasan ini, dengan harapan bahwa suatu hari kecerdasan buatan atau simulasi kognitif dapat meniru kesadaran manusia. Namun, kenyataannya, meskipun model AI semakin canggih, belum ada bukti bahwa pemrosesan informasi yang kompleks secara otomatis menghasilkan pengalaman subjektif. Hal ini mengindikasikan bahwa kesadaran bukan sekadar soal algoritma atau pola komputasi.
Sementara itu, dualisme interaksionis yang pertama kali dirumuskan oleh Ren Descartes (1641) mengusulkan bahwa kesadaran adalah entitas non-fisik yang berinteraksi dengan otak. Pendekatan ini menawarkan penjelasan yang lebih intuitif terhadap pengalaman subjektif, tetapi tetap menyisakan teka-teki besar: bagaimana sesuatu yang non-fisik dapat memengaruhi dunia fisik? Hingga kini, belum ditemukan mekanisme yang dapat menjelaskan interaksi semacam itu.
Ketiga paradigma ini, meskipun berkontribusi besar dalam studi kesadaran, masih menyisakan berbagai keterbatasan dalam menjelaskan asal-usul dan sifat kesadaran itu sendiri. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan yang lebih komprehensif---sebuah kerangka baru yang mampu menjawab pertanyaan yang hingga kini masih menggantung di perbatasan ilmu pengetahuan dan filsafat.