Saat melihat foto itu, hatiku tersentak. Ketika membaca tulisan itu, pikiran ikut melayang. Ada wajah yang kukenal, ada senyum yang dulu pernah untukku tapi kini bukan milikku. Aku sudah pergi, aku tahu. Namun di dalam dada masih tersisa rasa, seolah pintu itu belum benar-benar tertutup.
Kita bilang benci. Kita bersumpah tidak akan kembali. Namun ketika mantan berdiri di samping seseorang yang baru, ada kalimat lirih yang muncul tanpa diundang. Aku tetap yang terbaik. Aneh. Kita mengiyakan kata perpisahan, tetapi menolak kalah dalam cerita yang sudah selesai.
Pergulatan Ego Setelah Putus
Di kepala, logika selalu berjalan rapi. Sudah usai cerita. Tak ada janji, tak ada rencana. Tetapi di dalam dada ini, masih ada sisa getar yang menuntut keunggulan. Kita menatap foto itu lama, menyisir komentar orang, mencari celah untuk menenangkan harga diri. Mungkin dia tidak setulus dulu. Mungkin hubungan mereka hanya euforia. Mungkin aku yang lebih paham cara membuatnya tertawa.
Di situ letak paradoksnya. Kita tidak ingin kembali, tetapi kita ingin tetap jadi puncak gunungnya. Kita menolak bersama, tetapi juga menolak digantikan. Seperti menyimpan kunci rumah yang telah diserahkan, hanya agar merasa masih bisa masuk kapan saja. Kita tahu ini konyol, namun batin sering memilih cara sederhana untuk melindungi diri. Ego memeluk kenangan, lalu berbisik pelan. Tenang, kamu tetap yang terbaik.
"Yang lalu biarlah berlalu." Kita sering mengucapkannya, sering mendengarnya, tetapi jarang benar-benar untuk melepaskan. Kalimat itu gampang di bibir, berat di genggaman, lain pula di hati.
Cermin Sosial Sehari-hari
Di linimasa, kita belajar membandingkan. Algoritma menyajikan potongan reels hidup orang lain seperti trailer film yang selalu seru. Mantan tampil lebih dewasa, pasangan barunya tersenyum lebar, caption mereka pendek dan manis. Kita lupa bahwa layar hanya mempertontonkan highlight, bukan seluruh musim. Di dunia yang menghitung like sebagai validasi, perasaan ingin menang menjadi wajar. Bukan karena kita jahat, melainkan karena budaya menilai membuat kita takut terlihat kalah.
Di keseharian, banyak dari kita menyamakan cinta dengan kepemilikan. Padahal hubungan yang telah usai, kepemilikan juga selesai. Namun bahasa sehari-hari menyisakan kata kita yang licik. Mantan kita, tempat kita, lagu kita. Kata ganti itu mengikat hal yang semestinya sudah bebas. Tak heran, ketika ada orang baru, kita merasa diusik. Seakan hak cipta rasa tidak berlaku masa kadaluarsa.
Saatnya Menemukan Makna
Paradox of Ex bukan tentang mantan dan pasangannya. Ini tentang kita yang masih ingin diakui sebagai bab terbaik dalam buku orang lain.
Begitu menyadari itu, rasanya hati jadi lebih ringan. Ternyata yang kita kejar bukan dia, melainkan diri kita versi yang lama. Diri kita yang merasa paling dipahami, paling layak, paling utama.
Psikolog menyebut fenomena ini sebagai rosy retrospection, bias kenangan yang membuat masa lalu tampak lebih indah dari kenyataannya. Ditambah lagi, penelitian dalam Journal of Personality and Social Psychology menemukan bahwa setelah putus hubungan percintaan, harga diri sering merasa terancam (ego threat). Dari situlah muncul dorongan untuk membandingkan diri dengan pasangan baru mantan.