Saya mengerti, marah itu melegakan. Marah bisa membuat kita merasa setara dengan elit yang jauh di menara kekuasaan. Tetapi tugas warga negara bukan sekadar mengimbangi decibel suara elit. Tugas kita mengembalikan nalar publik ke tengah panggung. Saat semua orang disuruh marah, kita perlu seseorang yang mengajak kembali berpikir. Agar suara kita tidak hanya terdengar ramai, tetapi juga memiliki arah yang jelas dan tujuan yang tegas.
Barangkali inilah saatnya kita menolak menjadi figuran dalam lakon politik yang disusun entah oleh siapa. Bukan agar kita terlihat berbeda, melainkan agar marah kita kembali punya kuasa perubahan . Marah yang tidak dipinjam. Marah yang menuntut kedaulatan, bukan sekadar konten. Marah yang tahu diri. Yaitu mana DPR yang harus dikritik, mana dinasti yang harus dibatasi, dan mana kebijakan yang harus dibenahi di akar, yaitu tanah, hutan, air, dan ruang hidup.
Kalau headline membuat kita berlari, semoga esai ini menolong kita melambat. Di kecepatan itulah kita bisa melihat seluruh panggung, bukan hanya lampu yang menyilaukan.
Sanana, 09 Rabi'ul Awal 1447 H / 02 September 2025
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI