Mohon tunggu...
asep gunawan
asep gunawan Mohon Tunggu... Pengabdi di Kabupaten Kepulauan Sula

ASN adalah jalan pengabdian, Menulis adalah jalan introspeksi pengabdian

Selanjutnya

Tutup

Politik

Semua Orang Disuruh Marah, Tapi Isu Utamanya Bukan DPR

2 September 2025   19:36 Diperbarui: 3 September 2025   10:13 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Marah (Sumber: canva.com/dream-lab)

(Disclaimer: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis, disusun dari tafsir dan refleksi terhadap isu publik yang berkembang. Tidak mewakili pandangan institusi atau pihak mana pun).

Kita terkadang lalai dan sering tanpa sadar menyaksikan pola pengalihan isu yang berulang. Sebuah potongan video menyebar, sebuah kalimat salah kutip, lalu emosi publik tersulut, nitizen bersuara dan linimasa pun mendidih. Namun justru pada saat itulah isu yang paling penting lolos dari perhatian. Marah itu wajar, tetapi sering kali arah kemarahan salah sasaran atau bahkan sengaja digiring ke isu lain.

Sejak beberapa pekan terakhir, suasana politik penuh kegaduhan dan masyarakat ramai-ramai "mengutuk" DPR. Ada yang membandingkan penghasilan wakil rakyat dengan dapur rakyat, ada yang menggunting slip tunjangan perumahan menjadi amunisi.

Saya tidak membela kekeliruan anggota DPR. Tetapi saya terganggu ketika amarah kita hanya dipinjam untuk menutup persoalan yang lebih menentukan arah republik ini. Isu itu adalah pemakzulan yang membayang, logika dinasti politik, dan kegagalan lama yang belum selesai di akar seperti agraria, lingkungan, dan ketimpangan.

Mengapa Marah Bisa Dialihkan?

Apakah ini berarti isu DPR tidak penting? Tentu tetap penting, namun jangan sampai perhatian kita berhenti di sana. Transparansi dan akuntabilitas wakil rakyat wajib diperjuangkan. Namun jika kita menempatkan DPR sebagai pusat dari segala kerusakan, kita bisa kehilangan kemampuan membaca skenario.

Yang lebih berbahaya bukan sekadar salah ucap atau salah hitung. Yang jauh lebih genting adalah orkestrasi emosi, yaitu ketika amarah yang otentik diarahkan untuk kepentingan segelintir orang yang sedang berutang masalah pada publik.

Dinasti dan Arah Kekuasaan

Sejak memasuki periode politik pasca pemilu, kita bisa melihat pola ini makin jelas. Mari kita telusuri lebih dalam agar lebih mudah dipahami.

Mereka yang tersingkir dari pusat kekuasaan butuh panggung. Mereka tahu bahan bakar murah selalu tersedia, yaitu kekecewaan publik terhadap elit. Gejala yang nyata, yakni kemarahan terhadap perilaku sebagian anggota DPR, kemudian diangkat menjadi cerita utama.

Kita sibuk menyalurkan amarah melalui aksi simbolik seperti mengetuk panci dan menulis status di media sosial. Sementara itu panggung lain disusun dengan wacana pemakzulan yang mengganjal, ijazah yang dipertanyakan, dan bayang-bayang dinasti yang tetap berjalan. Dalam logika ini, marah bukan lagi hak warga, melainkan alat politik.

Persoalan Tanah dan Agraria

Di sini kita perlu bertanya. Siapa yang diuntungkan ketika kita memusatkan energi pada DPR saja? Apakah itu otomatis memperbaiki desain kekuasaan? Atau justru mempersempit pandangan kita agar tidak mempersoalkan pintu masuk problem utama, yaitu bagaimana kekuasaan diturunkan, dinegosiasikan, dan dipertahankan?

Di titik ini, nama-nama boleh berganti, tetapi polanya serupa. Ada hasrat mempertahankan kuasa lewat keluarga, jaringan bisnis, dan komposisi kabinet. Dinasti bukan sekadar hubungan darah. Ia adalah cara pikir yang menganggap negara sebagai perpanjangan tangan kekuasaan.

Di tengah hiruk-pikuk percakapan politik yang gaduh, ada perkara yang terdengar menjauh padahal menentukan, yakni tanah. Hubungan warga dengan tanah, hutan, sungai, kebun, dan ruang hidup. Kita jarang melirik ke sana karena isu agraria terasa teknis.

Padahal dari situlah konflik sosial memanas, etnis saling curiga, kemiskinan menahun, dan lingkungan yang semakin rusak dan rapuh.

Di banyak wilayah, rakyat sudah lama tinggal dan menggantungkan hidup pada lahan yang status hukumnya kabur. Negara datang terlambat, lalu menunjuk mereka sebagai pihak yang dicap sebagai pelanggar. Sementara itu, pemegang konsesi justru meluas melampaui batas. Yang lemah dikejar, yang kuat diajak negosiasi.

Benalu Demokrasi Bernama Relawan

Keadilan agraria mestinya tidak berhenti sebagai slogan kosong, tetapi harus diwujudkan dalam kebijakan nyata. Ia menuntut audit menyeluruh terhadap hak guna usaha dan hutan tanaman industri.

Negara harus menarik kembali luasan tanah yang melampaui konsesi, melakukan redistribusi yang berbasis sejarah tinggal, ekologi, dan kebutuhan, membuka skema saham untuk warga ketika industri sudah puluhan tahun untung, serta mendorong tumpang sari sebagai masa transisi, bukan penggusuran mendadak. Politik yang mengabaikan tanah akan selalu memantik amarah yang lebih liar daripada demo di ibu kota.

Masalah lain yang kini muncul memiliki bentuk baru yang lebih nyata. Relawan yang berubah menjadi benalu demokrasi. Mereka semestinya pulang ke habitat begitu pemilu usai sebagaimana norma demokrasi yang sehat.

Tetapi sebagian menetap di pinggiran kekuasaan. Mereka minta posisi, masuk ke BUMN, atau menjadi aktor di depan kamera, lalu menggedor-gedor pintu kebijakan. Di ujungnya, publik kembali sinis. Yang berubah hanya kostum, bukan kultur.

Manipulasi Emosi Publik

Kita juga menyaksikan bagaimana video, caption, dan potongan rapat menjadi senjata politik. Bahan mentahnya benar, ada salah bicara, ada keputusan yang bisa dikritik. Tetapi proses penyajiannya manipulatif. Kita dipancing membenci secara cepat. Padahal demokrasi butuh kerja pelan. Membaca utuh, menimbang konteks, bertanya siapa di balik framing, dan bertanya lagi siapa yang paling diuntungkan. Kebebasan berpendapat bukan resep untuk terburu-buru percaya.

Radical Break

Di tengah kebingungan politik dan sosial itu, konsep radical break terdengar menggoda. Istilah ini dimaknai sebagai rem kejut untuk menghentikan praktik lama. Namun rem kejut tidak cukup bila hanya menyingkirkan tokoh tertentu, sebab yang lebih penting adalah menyasar struktur yang melanggengkan masalah.

Percuma saja mengubah wajah bila fondasinya tetap. Oligarki ekonomi tetap mengunci, relawan menutup celah, kompromi politik terus menghisap energi birokrasi. Radical break yang sejati berarti membalik urutan prioritas: dari akumulasi menuju distribusi, dari keluarga menuju warga, dari proyek menuju pangan, dan dari spektakel menuju substansi.

Jalan Kecil Warga

Kita tidak perlu menunggu negara menjadi sempurna untuk mulai memulihkan nalar publik. Ada tiga langkah sederhana yang bisa dikerjakan warga agar amarah tidak berubah menjadi sekadar komoditas.

Pertama, literasi kebijakan. Bedakan dengan jelas antara gejala dan sebab. Gaji, rumah dinas, dan tunjangan boleh dipersoalkan, namun jangan berhenti di sana. Tanyakan juga rancangan besar di balik perppu, keputusan MK, dan tata kelola partai.

Kedua, etika berdemonstrasi. Protes memang hak konstitusional, tetapi cara dan adab menentukan apakah tuntutan diperkuat atau justru dilemahkan.

Ketiga, jurnalisme warga yang jernih. Fakta perlu didokumentasikan secara utuh, konteks jangan dipotong, informasi harus diverifikasi silang, dan tulisan kembali disajikan dengan bahasa yang mencerahkan, bukan menghasut.

Di tingkat negara, ada sejumlah kebijakan yang bila dibuka bisa menyalurkan amarah publik menjadi dorongan positif. Misalnya audit menyeluruh terhadap konsesi dan praktik lintas batas, pengetatan konflik kepentingan di kabinet, pembatasan jabatan rangkap di BUMN, yayasan, dan partai, serta penguatan perlindungan saksi-pelapor.

Di sisi lain, perlu dorongan regulasi yang mengakui keberadaan komunitas adat, menjamin lahan rakyat, dan mengembalikan hutan pada fungsi aslinya. Pemerintah juga wajib memperbaiki cara berkomunikasi: menjelaskan dasar, dampak, indikator keberhasilan, dan mekanisme koreksi. Transparansi tanpa penjelasan yang baik hanya akan menambah rumor.

Selain negara dan warga, ada pula ekosistem penengah yang tak kalah penting: kampus, serikat pekerja, organisasi profesi, dan komunitas adat. Kampus mesti kembali menjadi ruang dialektika, bukan sekadar panggung seremoni. Serikat pekerja perlu mengangkat isu upah layak dan perlindungan kerja yang terdampak deindustrialisasi. Organisasi profesi harus memberi pembacaan kebijakan yang bebas dari konflik kepentingan. Komunitas adat menjaga ingatan atas ruang hidup yang hendak direbut.

Jika keempat simpul ini saling menguatkan, amarah publik akan menemukan pagar etika dan arah strategi, bukan sekadar riuh tanpa tujuan.

Wacana Pemakzulan

Lalu, bagaimana dengan wacana pemakzulan yang hilang-timbul seperti nyeri bisul mau pecah? Kita mesti jernih berpikir. Pemakzulan bukan kata sakti untuk memuaskan emosional sesaat. Ia prosedur konstitusional yang hanya sah jika ada pelanggaran berat yang dapat dibuktikan. Ketika wacana itu dipakai sebagai senjata, ia menimbulkan dua risiko. Pertama, melelahkan publik sampai apatis. Kedua, memantik polarisasi yang kering argumen. Keduanya buruk bagi demokrasi. Karena itu, jika isu pemakzulan memang ada dasar, biarkan jalan hukum bekerja. Jika tidak, hentikan pemakaiannya sebagai alat tawar-menawar politik.

Pada akhirnya, keberanian paling sulit bukan menghardik DPR, melainkan menolak diarahkan. Menolak diarahkan berarti berani membedakan mana isu pengalih perhatian dan mana jantung persoalan.

Dalam kasus hari-hari ini, jantungnya ada pada cara kekuasaan diwariskan, diapa-apakan, dan diakhiri. Tanpa itu, kita akan terus marah pada tepi tak berbatas. Sementara pusatnya tetap bekerja dalam senyap dan tawa.

Saya mengerti, marah itu melegakan. Marah bisa membuat kita merasa setara dengan elit yang jauh di menara kekuasaan. Tetapi tugas warga negara bukan sekadar mengimbangi decibel suara elit. Tugas kita mengembalikan nalar publik ke tengah panggung. Saat semua orang disuruh marah, kita perlu seseorang yang mengajak kembali berpikir. Agar suara kita tidak hanya terdengar ramai, tetapi juga memiliki arah yang jelas dan tujuan yang tegas.

Barangkali inilah saatnya kita menolak menjadi figuran dalam lakon politik yang disusun entah oleh siapa. Bukan agar kita terlihat berbeda, melainkan agar marah kita kembali punya kuasa perubahan . Marah yang tidak dipinjam. Marah yang menuntut kedaulatan, bukan sekadar konten. Marah yang tahu diri. Yaitu mana DPR yang harus dikritik, mana dinasti yang harus dibatasi, dan mana kebijakan yang harus dibenahi di akar, yaitu tanah, hutan, air, dan ruang hidup.

Kalau headline membuat kita berlari, semoga esai ini menolong kita melambat. Di kecepatan itulah kita bisa melihat seluruh panggung, bukan hanya lampu yang menyilaukan.
Sanana, 09 Rabi'ul Awal 1447 H / 02 September 2025

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun