Kita tidak perlu menunggu negara menjadi sempurna untuk mulai memulihkan nalar publik. Ada tiga langkah sederhana yang bisa dikerjakan warga agar amarah tidak berubah menjadi sekadar komoditas.
Pertama, literasi kebijakan. Bedakan dengan jelas antara gejala dan sebab. Gaji, rumah dinas, dan tunjangan boleh dipersoalkan, namun jangan berhenti di sana. Tanyakan juga rancangan besar di balik perppu, keputusan MK, dan tata kelola partai.
Kedua, etika berdemonstrasi. Protes memang hak konstitusional, tetapi cara dan adab menentukan apakah tuntutan diperkuat atau justru dilemahkan.
Ketiga, jurnalisme warga yang jernih. Fakta perlu didokumentasikan secara utuh, konteks jangan dipotong, informasi harus diverifikasi silang, dan tulisan kembali disajikan dengan bahasa yang mencerahkan, bukan menghasut.
Di tingkat negara, ada sejumlah kebijakan yang bila dibuka bisa menyalurkan amarah publik menjadi dorongan positif. Misalnya audit menyeluruh terhadap konsesi dan praktik lintas batas, pengetatan konflik kepentingan di kabinet, pembatasan jabatan rangkap di BUMN, yayasan, dan partai, serta penguatan perlindungan saksi-pelapor.
Di sisi lain, perlu dorongan regulasi yang mengakui keberadaan komunitas adat, menjamin lahan rakyat, dan mengembalikan hutan pada fungsi aslinya. Pemerintah juga wajib memperbaiki cara berkomunikasi: menjelaskan dasar, dampak, indikator keberhasilan, dan mekanisme koreksi. Transparansi tanpa penjelasan yang baik hanya akan menambah rumor.
Selain negara dan warga, ada pula ekosistem penengah yang tak kalah penting: kampus, serikat pekerja, organisasi profesi, dan komunitas adat. Kampus mesti kembali menjadi ruang dialektika, bukan sekadar panggung seremoni. Serikat pekerja perlu mengangkat isu upah layak dan perlindungan kerja yang terdampak deindustrialisasi. Organisasi profesi harus memberi pembacaan kebijakan yang bebas dari konflik kepentingan. Komunitas adat menjaga ingatan atas ruang hidup yang hendak direbut.
Jika keempat simpul ini saling menguatkan, amarah publik akan menemukan pagar etika dan arah strategi, bukan sekadar riuh tanpa tujuan.
Wacana Pemakzulan
Lalu, bagaimana dengan wacana pemakzulan yang hilang-timbul seperti nyeri bisul mau pecah? Kita mesti jernih berpikir. Pemakzulan bukan kata sakti untuk memuaskan emosional sesaat. Ia prosedur konstitusional yang hanya sah jika ada pelanggaran berat yang dapat dibuktikan. Ketika wacana itu dipakai sebagai senjata, ia menimbulkan dua risiko. Pertama, melelahkan publik sampai apatis. Kedua, memantik polarisasi yang kering argumen. Keduanya buruk bagi demokrasi. Karena itu, jika isu pemakzulan memang ada dasar, biarkan jalan hukum bekerja. Jika tidak, hentikan pemakaiannya sebagai alat tawar-menawar politik.
Pada akhirnya, keberanian paling sulit bukan menghardik DPR, melainkan menolak diarahkan. Menolak diarahkan berarti berani membedakan mana isu pengalih perhatian dan mana jantung persoalan.
Dalam kasus hari-hari ini, jantungnya ada pada cara kekuasaan diwariskan, diapa-apakan, dan diakhiri. Tanpa itu, kita akan terus marah pada tepi tak berbatas. Sementara pusatnya tetap bekerja dalam senyap dan tawa.