Mohon tunggu...
Aldo Manalu
Aldo Manalu Mohon Tunggu... Administrasi - Penulis

Lelaki kelahiran Bekasi, 11 Maret 1996. Menekuni bidang literasi terkhusus kepenulisan hingga sampai saat kini.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Tumbal Arwah Jelangkung - 4

18 Februari 2016   19:11 Diperbarui: 18 Februari 2016   19:21 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Tak terasa, mereka sudah sampai di rumah Indra. Bendera merah berdiri tegak di pinggir jalan. Banyak sekali tetangga berdatangan ke rumah Indra. Ada yang memang datangmelayat, dan ada juga yang sekedar melihat jenazah yang terbujur kaku di atas lantai keramik itu .

                Lina langsung mendatangi Shanti ketika ia melihat Shanti berdiri di belakang kerabat Indra.

                “Cepat sekali kamu tiba di sini, mana si Heru?“ tanyanya pelan. Lina mengambil posisi di belakangnya.

                “Tadi dia keluar sebentar. Katanya, di sini panas banget,“

                “Ngomong-ngomong, bagaimana keadaan jenazah Indra?“

Shanti diam seribu bahasa. Ia tak mau menanggapi pertanyaan Lina. Shanti tertunduk lemas  Melihat respon temannya yang seolah tak mau memberitahu dirinya, ia berinisiatif melihat jenazah Indra dan ayahnya yang masih ditangisi oleh kerabatnya.

Lina mencoba membelah kerumunan manusia yangmengerubungi jenazah Indra. Lina melangkah hati-hati. Akhirnya, ia tiba di depan jenazah Indra dan ayahnya. Ia menyimpuhkan kakinya sambil mendekatkan diri ke depan jenazah. Tangannya gemetar ketika ia ingin membuka kain penutup jenazah yang menutupi jenazah ayah Indra.

Disingkapnya kain penutup itu perlahan-lahan. Dirinya dirundung ketakutan. Lina terkejut bukan main melihat kulit wajah lelaki paruh baya itu mengelupas. Menonjolkan daging merah yang dibasahi darah hitam dan nanah. Tulang tengkoraknya mencuat dan kelihatan retak. Lina menggigil. Ia berusaha menahan mual di perutnya. Lina menutup kembali  jenazah dengan kain putih dan segera beralih menuju jenazah Indra.

Tak perlu waktu lama, Lina langsung menyingkapkan kain penutup Indra. Kondisi Indra tak kalah menyedihkan dengan ayahnya. Wajah tirus Indra putih pucat bagai selembar tisu. Sebuah lubang besar menganga di dadanya. Ditambah belatung lapar yang menggerogoti dadanya. Sekali lagi, Lina harus menahan rasa mual di perutnya yang hampir tak bisa tertahankannya. Walau sekuat tenaga ia menahan rasa mual di perutnya, air mata Lina tak bisa terbendung lagi. Ingin rasanya ia meluapkan kesedihan yang membuncah di dadanya. Begitu tragisnya kematian yang dialami oleh temannya. Sungguh tak bisa dipercaya, siapa yang tega membunuh temannya, Indra.

Shanti yang berada di belakangnya,meminta izin ke dapur mengambil minum. Lina mengizinkannya. Suasana dapur amat suram. Menyiratkan aura kematian yang begitu pekat. Langkahnya tercekat ketika udara dingin mulai menyapa tengkuknya. Bulu kuduknya spontan berdiri. Matanya berputar mengawasi sekelilingnya. Ia tak menjumpai seorang pun di sana selain dirinya. Tapi instingnya mengatakan bahwa dia tak sendirian. Shanti tak mau berpikiran yang aneh. Ia langsung mengambil gelas dari rak, menuangkan air dari teko ke dalam gelasnya.

Pandangannya tertumbuk pada percikan darah kering yang menempel di dinding. Ia meraba sisa darah kering yang tersisa. Sambil mengamati, pikiran Shanti melayang jauh. Ia tak habis pikir, siapa yang tega membunuh Indra dan ayahnya sesadis ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun