Mohon tunggu...
Aldo Manalu
Aldo Manalu Mohon Tunggu... Administrasi - Penulis

Lelaki kelahiran Bekasi, 11 Maret 1996. Menekuni bidang literasi terkhusus kepenulisan hingga sampai saat kini.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Tumbal Arwah Jelangkung - 4

18 Februari 2016   19:11 Diperbarui: 18 Februari 2016   19:21 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Sofia kebingungan ketika dia mendapati dirinya, berada di tempat yang begitu temaram. Sebuah lorong panjang tanpa ujung, terbentang di hadapannya. Dia melangkah hati-hati menelusuri lorong, siapa tahu ada seseorang yang bisa ditanya mengenai lorong itu.

“Halo, apakah di sini ada orang? Hallo...,“

Sofia tak mendapatkan jawaban atau sahutan dari seseorang yang ada di sana. Tidak ada siapapun. Hanya dirinya seorang. Nuansa sepi dan sunyi terasa kental di lorong itu.

Sofia masih saja mencoba menjelajahi lorong itu walaupun pikirannya resah dan gelisah. Ia tak mendapatkan satu pun petunjuk yang berarti. Sekonyong-konyong, dirinya mendengar suara samar-samar rintihan manusia.

“Tolong... Tolong...“

Suara rintihan itu begitu pilu dan menyayat perasaannya. Mendengarnya saja bisa membuat orang menitikkan air mata. Sofia terus mendekati sumber suara itu. Dia mulai berpikir bahwa suara itu berasal dari lorong yang berada di depannya. Semakin dia berjalan suara itu semakin terdengar jelas.

Sofia memepercepat langkah kakinya agar bisa sampai ke sumber suara. Ternyata dugaannya benar. Kini, suara itu makin terdengar jelas saat dia berjalan menyusuri lorong. Dia sampai di sana. Sofia menemukan seorang remaja duduk dengan membenamkan wajahnya di atas lipatan tangannya. Didekatinya remaja itu.

“Kamu kenapa menangis?“ tanya Sofia.

Kemudian, anak itu menengadah. Sofia terperanjat.

“Prakoso?!“ pekik Sofia.

“Ibu!“ sahutnya.

Sekarang keduanya larut dalam tangisan. Kedunya berpelukan erat seperti anak dan ibu yang tak berjumpa selama puluhan tahun. Air mata membasahi wajah mereka. Suara tangisan keduanya bagai lantunan lagu sedih di tengah kesuraman. Keduanya tak mau melepaskan dekapannya masing-masing. Seakan,tak membiarkan momen haru itu beranjak sejengkal pun dari sana.

“Kenapa kamu bisa di sini, nak?“

“Aku juga tidak tahu, bu. Dari tadi Prakoso sudah berada di sini. Aku juga mencari jalan keluar dari tempat ini, tapi aku tak menemukan jalan keluar dari lorong ini. Lorong ini seperti jalan panjang yang tak ada ujungnya. Aku panik dan menjerit minta tolong, berharap ada seseorang yang mau menolong. Dan ternyata, aku menemukan ibu sudah ada di sini.”

“Ibu pun dari tadi juga, ada di sini. Sudahlah, yang terpenting kita harus menemukan jalan keluar dari sini.“

Ketika hendak menarik tangan anaknya, dua orang berjubah hitam datang bersamaan dari depan dan belakang, menyeret paksa mereka. Sofia yang merasa keselamatan anaknya terancam, meronta dan menggeliat, meminta dirinya dilepaskan.

“LEPASKAN AKU! LEPASKAN ANAKKU!“ jerit Sofia sambil memukul-mukul tangan si jubah hitam namun dia tak merasakan apa-apa. Dia masih saja menyeret tangan Sofia. Di depannya, Prakoso berteriak nyaring memanggil ibunya. Suaranya hampir serak memanggil ibunya.

“IBU! IBU! TOLONG PRAKOSO!“ pekik Prakoso. Dirinya berusaha melawan si jubah hitam yang menyeret tangannya. Badannya lemas di dalam pengaruh kekuatan si jubah hitam.

“IBUUUU!“ Prakoso meraung panjang sesaat. Dirinya semakin jauh diseret oleh si jubah hitam. Semakin menjauh dari pandangan Sofia. Ditelan kegelapan yang perlahan mulai menyelimuti lorong. Sofia ikut masuk ke dalam kegelapan. Lorong gelap total.

“Prakosooo!“ suara raungan Sofia masih menggema walau tertelan pekatnya kegelapan.

“Mama, bangun ma!“ Hendra membangunkan istrinya dengan menepuk-nepuk pipinya.

“Prakoso!“ Akhirnya Sofia terbangun dari igauannya. Matanya mendelik lebar. Ia mengedarkan pandangannya ke seluruh sudut kamar tidur untuk menyakinkan bahwa ia tidak sedang bermimpi.

“Ada apa, ma? Ada apa dengan Prakoso?!“ tanya Ayah sambil mengoyang-goyangkan tubuh istrinya yang terlihat shock.

Sofia menarik napas pelan-pelan, mengatur irama pernapasan untuk menenangkan pikirannya.

“Dalam mimpi, ibu bertemu dengan Prakoso, Pak. Dia diseret oleh seseorang berjubah hitam da-dan...“ ibu tak mampu meneruskan perkataannya.

“Sudahlah, ma. Terimalah kenyataan kalau putra kita sudah dijemput Yang Maha Kuasa. Yang terpenting, kita pikirkkan, Melly, putri kita. Besok pagi, kita pergi ke makam Prakoso, mama mau?“

“Ya. Mama setuju, pak. Hanya saja mama merasakan ada hal yang janggal pada kematian putra kita.“ ujar Sofia seraya menghela napas pendek.

“Besok, ada hal penting yang mesti kita bicarakan. Ini tentang pekerjaan kita selanjutnya. Apakah kita harus lanjut atau pindah,“

“Maksud bapak?“ tanya ibu.

“Lebih baik kita bicarakan besok saja. Ini masih jam tiga dini hari.“ pungkas bapak sambil melirik ke arah jam dinding.

Mereka melanjutkan kembali tidur yang sempat terganggu.  Bersamaan dengan itu, sekelebat bayangan hitam menghilang menembus tembok kamar mereka.

Ayam jantan berkokok panjang. Pagi sudah menjelang. Mentari mengangkasa di  hamparan langit biru. Lina sedang menyiapkan sarapan pagi untuk ayah, adik dan dirinya sendiri. Kalau bukan karena ibunya tidak enak badan, dirinya tak akan bangun cepat dan menyiapakan segala sesuatu untuk sarapan pagi.

“Uh, capek juga. Waktunya sarapan.“ Ucap Lina bersemangat sambil memukul pelan wajan penggorengan.

Di meja, tersedia tiga lapis telur dadar bersambal cabe merah. Mengundang air liur untuk segera menyantap apalagi nasinya masih hangat. Lina mengambil piring ayahnya terlebih dahulu. Ia meletakkan nasi dan telor di atas piring lalu diberikan kepada ayahnya. Begitu pula dengan adiknya.

“Kak, apakah betul di sekolah nanti, akan diadakan acara pelantikan ketua OSIS baru?“ tanya Rafly sambil mengunyah nasi yang berada dalam mulutnya.

“Rafly, habiskan dulu nasi yang ada di mulutmu, baru bicara. Nanti  kamu bisa tersedak.“ tukas ayah sambil memajukan piring kosongnya.

“Kamu tahu juga ‘kan, bahwa ketua OSIS kita, Eddy Prakoso, sudah meninggal dunia karena kecelakaan. Maka,jabatannya akan digantikan wakil ketua, Donni.“ tutur Lina.

“Kok kakak bisa tahu sih?“ tanya Rafly.

“Ya jelas tahu lah. Kakak ‘kan seksi OSIS.“ jawab Lina.

“Hahaha, Rafly bercanda, kak.“ kelakar Rafly.

“Apa kalian tidak terlambat masuk sekolah?“ tukas ayah sambil meninggalkan kedua anaknya.

Sarapan keduanya sudah habis. Hanya tersisa piring-piring kotor yang tergeletak di atas meja makan. Dan tiba waktunya,mereka berangkat ke sekolah.

15 menit sudah terlewati. Baru kali ini, suasana angkutan cukup padat. Beraneka bentuk tubuh memadati tempat duduk di dalam angkutan. Tiba-tiba saja, Lina menepuk jidatnya pelan.

“Oh ya, aku lupa. Hari ini ‘kan ada PR matematika dan bahasa Inggris. Tinggal sedikit lagi yang belum siap. Tapi biarlah. nanti di sekolah, tinggal menengok punya kawan.“ujar batin Lina.

Dia tak lagi memikirkan PR-nya. Yang ada, dia hanya ingin melihat pelantikan Doni sebagai ketua OSIS menggantikan Prakoso. Akhir-akhir ini, dirinya begitu simpatik dengan Donni. Seorang wakil ketua OSIS, yang sebentar lagi akan dilantik menjadi ketua OSIS. Laki-laki ganteng, menawan, dengan gaya cool begitu mencuri perhatiannya. Walaupun dia agak cerewet, hal itu yang membuatnya semakin tertarik dengan Donni.

Angkutan yang ditumpanginya sudah tiba di sekolah. Lina dan adiknya segera turun dari angkutan. Bola mata Lina mengarah ke arloji. Arlojinya menunjukkan pukul 07.10, masih tersisa lima menit lagi.

“Santai sajalah. Lagipula apel pagi kok.” Lina membatin.

Lonceng telah berbunyi. Para siswa berhamburan keluar kelas menuju ke lapangan untuk melaksanakan apel pagi. Lina dan Shanti memilih berjalan di belakang kerumunan agar tidak saling berdesakan. Sambil berjalan,mereka sibuk memperbincangkan sesuatu.

“Shan, kamu lihat si Indra gak?“

“Si Indra? Mana kutahu, Lin. Dia bukan satu kelas kita kok.“

“Soalnya, saat aku mau datang ke kelas, aku melihat si Indra jalan ke sana,“ ujarnya sambil menunjuk tempat parkir sepeda motor. “Tapi tiba-tiba, menghilang begitu saja. Gak tahu ke mana...“

“Ah, itu cuma perasaan kamu aja, Lin. Kamu gak tahu, si Indra ‘kan tukang telat. Dia selalu terlambat lima menit dari jadwal apel pagi.“ tukas Shanti.

“Ok ok. Sepertinya kita harus cepat. Pak Brahman sudah mengomel seperti ibu-ibu.“ tutup Lina sambil mempercepat langkahnya.

Seluruh siswa sudah tiba di lapangan. Pagi ini, cuaca tidak terlalu cerah, cenderung berawan. Suasana di lapangan begitu tenang. Semuanya mendengar dengan saksama wejangan yang diberikan oleh Pak Brahman sekaligus memberitahukan bahwa sekolah akan mengadakan beberapa perlombaan dengan mengundang salah satu sekolah negeri di kota ini.

“Aduh, lama banget sih, Pak Brahman. Sudah gak sabar nih, lihat Donni dilantik jadi ketua OSIS. “ Lina menggerutu sambil melihat-lihat arlojinya.

Wajahnya yang tadi cemberut kini kembali ceria ketika Pak Brahman memerintahkan para pengurus OSIS maju ke depan mimbar. Tak butuh waktu lama, semua pengurus OSIS sudah berada di samping mimbar. Pak Brahman mencoba menenangkan siswa-siswi yang mulai ribut. Suara bentakan keras pak Brahman membuat para siswa terkejut.

“Saudara Donni saya undang untuk maju ke depan.“ undang Pak Brahman.

Donni yang berada di barisan kelasnya, XI IPS 2,langsung menuju ke depan mimbar. Dirinya begitu percaya diri. Tak ada kegugupan tersirat di wajahnya. Ia pun mengetahui bahwa sebentar lagi dia akan diangkat menjadi ketua OSIS. Sebelum pengangkatannya, Pak Brahman sebagai wakil kepala sekolah memberikan sedikit nasihat kepada Donni agar ia bisa menjalankan program-programnya dengan baik.

Semua siswa bertepuk tangan setelah kepala sekolah berjabatan tangan dengan Donni. Ia sudah menerima jabatannya sebagai ketua OSIS  baru. Tak mau ketinggalan, Lina juga bertepuk tangan. Ia begitu antusias melihat Doni diangkat menjadi ketua OSIS baru. Kemudian, pak Brahman mengambil alih barisan. Pak Brahman menunjuk salah satu siswa untuk memimpin doa penutup. Usai berdoa, barisan para siswa sudah membubarkan diri. Lina yang akan pergi dari sana, tercekat oleh sebuah suara.

Ia melihat sekelilingnya. Lina mendapati Indra sedang menyuruhnya ke sana, di depan perpustakaan. Lina menghampiri Indra. Ia berbincang sebentar dengan Indra. Sekilas, wajahnya terlihat pucat pasi. Tak seperti biasanya. Mungkin dirinya tak sempat sarapan. Keduanya kini sudah berpisah.

“Eh Lin, darimana aja kamu? Dari tadi kutunggu bukannya datang. Malah bicara sendiri, kayak orang sakit jiwa,“ tegur Shanti dari belakang.Shanti sudah lama menunggu Lina bersama dengannya ke kelas. Tapi, Lina tak kunjung menyusul dirinya

“Sakit jiwa? Kepalamu sakit jiwa. Orang aku lagi mengobrol sama Indra kok. Masa kamu gak lihat?!“ balas Lina. Ia tetap bersikeras dengan alasannya.

“Eh sumpah Lin. Anak-anak aja bilang, kamu seperti sedang bicara sendiri. Lagipula, di depan perpus nggak ada siapa-siapa.“

“Ya sudahlah. Mungkin aku khilaf. Percepat jalannya. Sebentar lagi, pak Hartono masuk. Terlambat lima menit, kita gak akan izinkan masuk kelas.“ pungkas Lina.

Dalam hatinya, Lina masih mengotot bahwa ia sedang berbicara dengan Indra. Dan Indra tepat berada di depan matanya. Namun, ia tidak mau meneruskan masalah dan memilih mengalah.

Pelajaran Kimia membuatnya kepala Lina memanas. Untungnya lonceng istirahat menyelamatkan dirinya dari kebuntuan. Lina, Shanti dan Fanny ke kantin tempat biasanya mereka bercengkerama.

                “Hei Lin, kamu punya waktu luang setelah pulang sekolah?“ tanya Fanny.

                “Hmmm, ada. Memangnya kenapa?“

                “Aku mau mengajak kalian berdua makan-makan di Mc Donald. Mumpung hari ini aku ulang tahun,“

                “Hah serius?! Hari ini kamu berulang tahun?“ tanya Lina antusias.

                “Iya, pelan-pelan. Nanti yang lain dengar.“ bisik Fanny sambil mengacungkan jari telunjuknya lurus ke mulutnya.

                “Oh,maaf deh.“ kata Lina sambil tertawa garing.

                “Jadi bagaimana, bisa ikut tidak?“ sambung Fanny.

                “Kalau aku sih yes, kalau kamu Shan?“ Lina melirik Shanti.

                “Aku yes.“ jawab Shanti seraya mengangguk pelan.

                “Nah, kalau begitu, ayo kita habiskan mie ini.“ Lina mengalihkan pandangan mangkok mienya. Ia mencium aroma khas kuah Indomie yang membuatnya tergiur untuk menyantapnya.

                “Nah, ini dia si Lina.“

                Sebuah suara membuyarkan konsentrasi mereka. Ia melihat Sonny sudah berada di depannya.

                “Ada apa, Son?“ tanya Lina santai sambil menjejalkan mie ke dalam mulutnya.

                “Kamu bukannya pergi ke rapat OSIS, malah asyik makan.“ tukas Sonny agak kesal.

                “Memangnya ada apa sih? Kelihatnya serius banget,“

                “Kamu gak dengar kabar... Indra dan ayahnya meninggal dunia...“

                “Apa?! Meninggal?!“ sontak Lina.

Berita dukacita itu hampir saja membuat Shanti dan Fanny tersedak. Untung saja, makanan itu langsung cepat tersalur ke dalam perut mereka. Lina bergegas menuju tempat rapat OSIS karena dirinya adalah seksi OSIS bidang sosial. Dirinya juga harus menginstruksikan setiap ketua kelas untuk mengumpulkan sumbangan begitu mengetahui ada orang tua atau siswa yang meninggal dunia.

Lina bergerak meninggalkan kantin. Ia hampir lupa membayar uang mienya . Ia berbalik badan, menemui Fanny dan Shanti yang hendak membayar juga.

                “Hey Fan, ini punyaku ya. Sekalian menitip.“

                Lina berpaling lagi menuju Sonny yang masih menunggunya. Ia menghampiri Sonny, memintanya menunjukkan ruang rapat OSIS.

Hari ini, para ketua kelas sudah menyetorkan uang hasil sumbangan mereka kepada seksi sosial untuk diberikan kepada keluraga Indra. Mereka menghitung uang hasil sumbangan dan terkumpul sebanyak Rp 1.000.000,00. Ditambah lagi, dari uang OSIS sebanyak Rp 500.000,00. Jadi semuanya berjumlah Rp 1.500.000,00. Jumlah yang cukup banyak untuk sebuah sumbangan sukarela.

                “Hey, Lina, ayo cepat naik!“ perintah Donni sembari menghidupkan sepeda motornya.

                “Aku sama kamu?“

                “Iya, cepat. Pak Brahman, Shanti dan Heru sudah pergi duluan.“ ujar Donni.

                “Oh, jadi Shanti dan Heru ikut melayat juga?“

                “Iya, ayo buruan. Kita sudah telat.“

Lina berjalan santai menuju sepeda motor Donni. Ia duduk menyerong sambil bersandar sedikit pada punggung Donni. Ia merasa senang bisa sedekat ini dengan Donni, cowok idamannya. Melihat Lina yang sudah siap, Donni langsung melajukan gas meninggalkan komplek sekolah.

Hembusan angin begitu keras menerpa wajah Donni yang tertutup helm. Lina agak degdegan, melihat Donni begitu kencangnya mengendarai sepeda motor. Ia coba mengingatkannya dari belakang.

                “Hey, tak bisakah kau pelan-pelan?“

                “Apa?“ tanya Donni sambil membuka kaca helmnya.

                “Pelan-pelan membawa motornya,“ ujarnya sekali lagi.

                “Ini sudah pelan. Lagipula kita sudah ketinggalan.“ sahut Donni sambil tetap berkonsentrasi dengan kemudinya.

Tak terasa, mereka sudah sampai di rumah Indra. Bendera merah berdiri tegak di pinggir jalan. Banyak sekali tetangga berdatangan ke rumah Indra. Ada yang memang datangmelayat, dan ada juga yang sekedar melihat jenazah yang terbujur kaku di atas lantai keramik itu .

                Lina langsung mendatangi Shanti ketika ia melihat Shanti berdiri di belakang kerabat Indra.

                “Cepat sekali kamu tiba di sini, mana si Heru?“ tanyanya pelan. Lina mengambil posisi di belakangnya.

                “Tadi dia keluar sebentar. Katanya, di sini panas banget,“

                “Ngomong-ngomong, bagaimana keadaan jenazah Indra?“

Shanti diam seribu bahasa. Ia tak mau menanggapi pertanyaan Lina. Shanti tertunduk lemas  Melihat respon temannya yang seolah tak mau memberitahu dirinya, ia berinisiatif melihat jenazah Indra dan ayahnya yang masih ditangisi oleh kerabatnya.

Lina mencoba membelah kerumunan manusia yangmengerubungi jenazah Indra. Lina melangkah hati-hati. Akhirnya, ia tiba di depan jenazah Indra dan ayahnya. Ia menyimpuhkan kakinya sambil mendekatkan diri ke depan jenazah. Tangannya gemetar ketika ia ingin membuka kain penutup jenazah yang menutupi jenazah ayah Indra.

Disingkapnya kain penutup itu perlahan-lahan. Dirinya dirundung ketakutan. Lina terkejut bukan main melihat kulit wajah lelaki paruh baya itu mengelupas. Menonjolkan daging merah yang dibasahi darah hitam dan nanah. Tulang tengkoraknya mencuat dan kelihatan retak. Lina menggigil. Ia berusaha menahan mual di perutnya. Lina menutup kembali  jenazah dengan kain putih dan segera beralih menuju jenazah Indra.

Tak perlu waktu lama, Lina langsung menyingkapkan kain penutup Indra. Kondisi Indra tak kalah menyedihkan dengan ayahnya. Wajah tirus Indra putih pucat bagai selembar tisu. Sebuah lubang besar menganga di dadanya. Ditambah belatung lapar yang menggerogoti dadanya. Sekali lagi, Lina harus menahan rasa mual di perutnya yang hampir tak bisa tertahankannya. Walau sekuat tenaga ia menahan rasa mual di perutnya, air mata Lina tak bisa terbendung lagi. Ingin rasanya ia meluapkan kesedihan yang membuncah di dadanya. Begitu tragisnya kematian yang dialami oleh temannya. Sungguh tak bisa dipercaya, siapa yang tega membunuh temannya, Indra.

Shanti yang berada di belakangnya,meminta izin ke dapur mengambil minum. Lina mengizinkannya. Suasana dapur amat suram. Menyiratkan aura kematian yang begitu pekat. Langkahnya tercekat ketika udara dingin mulai menyapa tengkuknya. Bulu kuduknya spontan berdiri. Matanya berputar mengawasi sekelilingnya. Ia tak menjumpai seorang pun di sana selain dirinya. Tapi instingnya mengatakan bahwa dia tak sendirian. Shanti tak mau berpikiran yang aneh. Ia langsung mengambil gelas dari rak, menuangkan air dari teko ke dalam gelasnya.

Pandangannya tertumbuk pada percikan darah kering yang menempel di dinding. Ia meraba sisa darah kering yang tersisa. Sambil mengamati, pikiran Shanti melayang jauh. Ia tak habis pikir, siapa yang tega membunuh Indra dan ayahnya sesadis ini.

Hawa mistis kembali menyelimuti ruang dapur. Bola mata Shanti tak senjaga melihat sekelebat bayangan hitam melintas di belakangnya. Shanti sontak terlonjak. Ia meraih tali tas selempang yang diletakkan di atas kursi makan dan beralih ke rumah tamu menemui teman-temannya.

                “Shan, lama banget sih di dapur,“ bisik Lina sambil menyikut pinggang Shanti.

                “Tadi aku kebelet kencing. Makanya, aku sempat lama di dapur.“ tutur Shanti ke Lina.

Pak Brahman menyampaikan rasa belangsungkawa mereka kepada keluarga Indra yang masih dirundung kesedihan. Donni, sang ketua OSIS,menyerahkan uang sumbangan dan langsung diberikan kepada keluarga Indra. Selepasnya, mereka berpamitan pulang sambil menyalami keluarga Indra satu per satu.

                “Hallo,“ handphone Lina berbunyi dari dalam kantong bajunya.

                “Hallo Lin, bagaimana, kita jadi datang ‘kan di restoran?“

                “Oh ya, Fan. Jadi kok. Ini aku dan Shanti baru saja pulang melayat dari rumah Indra. Sebentar lagi kami ke sana kok.“

                “Baguslah. Aku tunggu kalian jam lima sore. Jangan sampai telat.“ tutup Fanny sambil me-nonaktif-kan handphone-nya.

                “Ok ok.“ Lina menyimpan kembali handphone-nya.

                Shanti menghampiri Lina.

                “Dari Fanny, Lin?“ tanya Shanti.

                “Iya Shan. Nanti, kamu bisa jemput aku ‘kan ke rumahku? Ya, kira-kira pukul empat lewat seperempat, bisa ‘kan?“ kata Lina sambil menatap Shanti.

                “Bisa kok. Tenang saja. Tinggal tunggu saja di tempat.“ Shanti mengancungkan jempol kanan pada Lina.

                “Hahaha. Oke deh.“ balas Lina seraya menuju sepeda motor Donni.

Donni sudah bersiap menunggu Lina. Ia menginjak pedal lalu sedikit menyandarkan kepalanya di punggung Donni. Ia hanya tersenyum kecil ketika lirikan matanya melihat kepala Lina bersandar di punggungnya.

“Pegangan yang erat.“ suruh Donni sambil menarik gas sepeda motornya kemudian memelesat meninggalkan rumah Indra.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun