Mohon tunggu...
Aris Balu
Aris Balu Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis

Menulis seputar fiksi dan fantasi || Bajawa, Nusa Tenggara Timur

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Gadis Gagak (Full)

19 Maret 2023   11:57 Diperbarui: 19 Maret 2023   12:00 511
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image: https://creator.nightcafe.studio/

Santos tidak menyukai pesta dansa. Baginya semua kemegahan itu tak lebih dari pertunjukan boneka. Para bangsawan mengundang koleganya untuk menari dan minum-minum, untuk apa? membicarakan bisnis, bertukar gosip kerajaan atau menjodohkan anak-anak mereka. Sungguh menggelikan.  Lakukan saja di ruangan kerja, buat apa membuang waktu berputar-putar seperti monyet diiringi alunan musik. 

Itulah mengapa sejak senja tadi ia tetap duduk menyendiri di sudut ruang dansa tanpa menghiraukan hiruk pikuk manusia disekelilingnya. Hari ini, kediaman Qasillas keluarganya menjadi tuan rumah pesta dansa mingguan di ibukota kerajaan. Meski telah didandani oleh pelayan dan mengenakan pakaian mewah, Santos tidak mengajak satu wanita pun untuk berdansa. 

Berbekal sebuah buku, Santos duduk di kursi tanpa meja agar para tamu tidak bisa bergabung dengannya. Mata si pemuda terpaku membaca setiap penggalan kalimat pada buku yang dipegangnya.

 "Marina mencarimu, nak"

Santos menoleh kaku pada asal suara itu. Seorang pria paruh baya berdiri tegap disampingnya. Rambut yang mulai beruban disisir rapi kebelakang, senyuman berseri ia lemparkan dari sela-sela kumis  dan janggut yang bersarang rapi di wajahnya.

"Aku sudah bertemu dengannya tadi, ayah. Mungkin ia sedang menghibur bangsawan lain saat ini." Ujar Santos acuh tak acuh.

Telapak penuh urat nadi mendarat pelan di pundak Santos, "Kau tidak bisa terus seperti ini, Santos. Marina gadis yang baik. Keluarganya juga sangat dekat dengan keluarga kita. Ia bisa jadi istri yang tepat untukmu." Sahut si pria tua.

Pemuda itu mengangkat satu alis, bukunya ia tutup. 

"Tentu saja, yah. Semua prajurit yang pernah tidur dengannya pasti punya pendapat yang sama denganmu." Ucap Santos datar.

"Jaga bicaramu, nak! Ada banyak orang disini."  

Pemuda itu memutar mata lalu kembali membuka buku. Gigi ayahanda lembut bergemeretak, memikirkan dosa apa yang ia lakukan di masa lalu hingga dewa memberinya seorang putra keras kepala seperti ini. Sejenak pria itu menarik nafas, jemarinya halus meremas pundak putranya.

"Baiklah, ayah tidak akan memaksa kalau kau tidak ingin menikahi Marina. Tapi kau harus segera memilih, nak. Lihat sekelilingmu. Gadis-gadis di ruangan ini semuanya menatapmu meski kau bersembunyi di sudut gelap ini."

"Mereka tidak melihatku, tapi apa yang akan diwariskan padaku." Jawab pemuda itu sembari membalikan lembar buku.

"Santos, lihat ayah!" Pintah si pria tua.

Pemuda itu memutar leher dengan malas menghadap ayahnya. Raut wajah tanpa emosi ia tampilkan sambil menebak nasihat yang akan keluar dari mulut orang tua ini. Kau bukan lagi anak-anak_ pikirnya.

"Kau bukan lagi anak-anak!" Seru pria itu membenarkan dugaan Santos, "Ayah berjanji pada ibumu agar tidak meninggalkan dunia ini tanpa melihatmu melanjutkan nama keluarga Qasillas."

"Akan kulakukan kalau waktunya sudah tepat, yah. Kau tidak perlu berteriak seperti itu." Ujar Santos tak ingin membuang waktu berdebat dengan ayahnya.

Sesaat puluhan mata melirik kearah mereka berdua, penasaran akan topik pertikaian mereka. Ayahanda tersenyum dingin pada para tamu seolah memberitahu kalau semuanya baik-baik saja. Sejenak kemudian ia lanjut bicara.

"Berjanjilah pada ayah, nak. Ajaklah satu saja wanita untuk menari denganmu malam ini. Lakukan demi jiwa ibumu di surga." Pria itu menatap wajah anaknya penuh harap.

Sejenak Santos menarik nafas. Ia memiringkan leher menghindari pandangan sang ayah. Ibu, kenapa kau tinggalkan aku dengan pria keras kepala ini? 

"Iya-iya, aku janji, yah" ucapnya.

Genggaman tangan sang ayah melemah, senyuman kembali menghiasi wajahnya. Mata si pemuda menangkap tiga orang yang melangkah kearah mereka.

"Daripada menceramahiku terus, tamu utama kita sudah datang." Ucap Santos menganggukan kepala pada mereka.

Segera ia berdiri dan menyilangkan tangan dibelakang. Ayahnya juga berbalik sembari tersenyum ramah pada tamu yang kini berada di depan mereka.

"Tuan Qasillas, tuan muda. Aku harap aku tidak menggangu percakapan kalian." ujar pria bertubuh gemuk dan pendek sambil menunduk hormat. 

Ia mengenakan jas merah berornamen emas yang mencolok. Kumis tipis mantap bersarang diatas bibir tebalnya. Dibelakang pria itu, dua pengawal berseragam militer berdiri tegap bak patung.

"Ah, pangeran Antonio. Tentu saja tidak. Senang sekali anda bisa bergabung di kediaman sederhana kami. Maafkan aku, tapi aku tidak mendengar kedatangan mu diumumkan." Ujar sang Ayah sopan pada pewaris ke-empat kerajaan ini.

"Formalitas bukan gayaku, Qasillas. Apalagi jika banyak ular malam ini yang berkeliaran karena mencium bau darah." Ucapnya datar namun penuh keanggunan.

"Ah tentu saja, yang mulia." Ujar sang ayah was-was.

Santos tersenyum disamping ayahnya yang kurang peka. Dengan tidak mengumumkan kedatangannya, pangeran ingin menunjukkan pada bangsawan yang lain bahwa kedatangannya bukan untuk berpesta. 

Itu tanda bahwa apapun penawaran bisnis tuan rumah akan ditolaknya. Sebuah formalitas politik agar tidak ada kecemburuan diantara para bangsawan.

 Meskipun begitu, Santos tahu bahwa sang pangeran tidak punya pilihan lain kecuali bekerja sama dengan keluarga Qasillas.

Keluarganya pemilik tambang terbesar di kerajaan ini. Proyek pembangunan istana yang baru hanya mungkin dikerjakan melalui campur tangan mereka.

Santos telah memastikan bahwa tidak ada bangsawan lain yang mampu bersaing dengan keluarga Qasillas. Ia dan ayahnya telah merancang rencana yang sempurna. Ia yakin itu. Kalau tidak, pangeran gendut ini tidak mungkin berjalan ke sudut tergelap ruangan dansa untuk mencari ayahnya.

"Dimana sopan santunku. Lebih baik kita mengobrol diatas, pangeran. Biarkan anak muda menikmati pesta ini." Ujar sang ayah sambil mempersilahkan pangeran dan rombongannya berjalan lebih dulu.

"Kau tidak ikut, tuan muda?" tanya pangeran.

"Aku tersanjung, yang mulia. Namun aku sudah berjanji pada ayahanda untuk menghibur setidaknya satu wanita malam ini." Jawab Santos sopan.

"Tentu saja. Memang tidak seharusnya kau menyia-nyiakan masa muda, Santos. Sebelum terbangun dan menyadari bahwa kau tidak bisa menunggang kuda lagi karena tubuhmu yang terlalu besar dan pinggangmu kesakitan." Ucap sang pangeran sembari tertawa kecil, "Baiklah, tunjukan jalannya tuan Qasillas." 

Santos menunduk ramah ketika ayahnya dan rombongan pangeran meninggalkan dia. Mereka menaiki tangga utama menuju lantai atas, menghindari keramaian lalu menghilang dari pandangannya.

Segera Santos kembali duduk di kursi, membuka buku dan tenggelam tak menghiraukan permintaan ayahanda. Ia hanya tidak ingin membicarakan hal yang sudah pasti diketahuinya. Meski ayahnya keras kepala, ia pebisnis ulung yang mampu menjual pasir pada penghuni gurun sekalipun. Santos hanya perlu menunggu lalu menjalankan rencana berikutnya.

***

Hari semakin malam dan suasana pesta semakin ramai karena minuman mulai menari diatas kepala para tamu. Semakin banyak pemuda yang mengajak para wanita untuk berdansa ketika alkohol menggantikan rasa takut mereka. Para wanita yang melirik Santos juga tak lagi duduk di meja, bosan menunggu sang tuan muda yang melekatkan mata pada lembaran kertas ditangannya.

Sesaat ketika lagu berhenti berkumandang, kepala pelayan berseru mengumumkan kedatangan seorang tamu.

"Yang mulia Carlos dari rumah Banderas"

Santos melirik ke arah pintu depan setelah mendengar kedatangan itu. Carlos Banderas? tidak biasanya. Dari sekian banyak bangsawan, keluarga Banderas hampir tidak pernah hadir dalam acara pesta dansa. Mereka tinggal di perkebunan di pinggir kota dan tidak menghiraukan perputaran politik di ibukota. Mengapa hari ini Carlos Banderas datang kemari?

Orang tua itu melangkah masuk sembari menyilangkan tangan dibelakang pinggang. Kumis dan janggut emas nan tebal bersarang pada wajahnya. Ia mengenakan jas hitam tajam bergaya militer dan topi tinggi melengkapi penampilan gagah seorang pekerja keras.

Mata Santos segera berpindah pada orang yang datang menemani pria itu. Seorang gadis muda merangkul tangan Carlos dan masuk bersama-sama kedalam ruangan dansa.

Gadis itu mengenakan gaun hitam yang membalut kulit putih pucat yang anggun membiaskan cahaya ratusan lentera di ruangan itu. Diatas kepalanya bersarang mahkota berhiaskan bulu burung gagak, menambah keindahan rambut perak yang dikuncir kebelakang. 

Meski jauh dari standar kecantikan kerajaan mereka yang lebih menyukai kulit kecoklatan, gadis itu memiliki daya tarik berbeda ketika bibir meronanya tersenyum sambil menelusuri ruangan. Tanpa sadar Santos telah melupakan bukunya dan terpaku menatap gadis bermahkota gagak bak nyengat yang menempel pada lampu jalanan.

Sesaat kemudian gadis itu melepas tangan Carlos yang memintanya mencari tempat duduk, sementara Carlos berbincang dengan bangsawan lain. Ia pelan melangkah menuju meja kosong yang berdekatan dengan kursi yang diduduki Santos.

Ia menghentikan pelayan yang berjalan didepannya, lalu bicara panjang lebar memesan minuman. Ketika pelayan itu berjalan kembali, Santos memanggilnya.

"Buatkan aku pesanan yang sama dengan gadis itu." Perintahnya.

Pelayan menganggukan kepala dan melangkah kebelakang. Santos masih terus mencuri pandang dengan gadis itu. Sesekali tamu lain mengunjungi mejanya untuk berdansa. Namun dengan sopan, gadis itu menolak ajakan mereka. Ia hanya duduk sambil tersenyum menikmati tarian dan musik yang menggema di sekelilingnya. 

Selang beberapa menit, pelayan datang membawakan minuman ke meja Santos. Minuman itu disediakan dalam gelas anggur dengan warna oranye keruh. Santos menggoyang-goyangkan gelas dan mencicipinya. Rasa pahit yang familiar melekat di ujung lidahnya, rasa dari gin. Lalu rasa asam yang berpadu dengan gin muncul dari perasan buah jeruk, serta aroma rempah-rempah dan daun mint dari ramuan absin lembut memanjakan hidung. Selera yang menarik.

Santos tersenyum sambil mengecap minuman itu. Kepalanya dipenuhi ribuan alasan mengapa gadis Banderas ini datang kemari. Semakin lama bibirnya beradu dengan gelas, semakin fokus pula prediksinya, hingga berbuah menjadi dua alasan. Yah, hanya dua. 

Satu-satunya cara untuk memastikan hal itu adalah dengan mengajak gadis ini berdansa. Santos menutup buku, merapikan pakaiannya dan melangkah menuju meja sang gadis, bersiap menguraikan misteri yang datang ke kediaman keluarga Qasillas.

***

"Boleh aku duduk disini?" Tanya santos pada gadis yang tengah duduk sendirian menikmati alunan musik.

Gadis itu tersenyum tipis sambil membelai rambutnya kebelakang telinga, "Tentu saja, tuan."

Segera Santos mengambil tempat di samping lalu kembali membaca buku yang dipegangnya, tak menghiraukan si gadis yang menatapnya keheranan. Detik berganti menit, tak satu katapun yang keluar dari mulut Santos untuk membuka percakapan. 

Si gadis memutar jemari karena tak nyaman atas situasi canggung itu. 

"Maaf, tuan. Aku bisa pindah ke meja lain kalau aku mengganggu." Ujarnya sopan.

"Tidak apa-apa. Aku menikmati kesunyian ini. Kau juga menolak ajakan untuk berdansa dan hanya menonton saja. Jadi kita hanya perlu duduk berdua dalam diam, boleh kan?" 

Gadis itu mengecutkan dahi. Sesaat kemudian ia mengangguk lalu menundukan kepala. Gadis itu mengangkat gelas lalu menelan minuman seolah ingin mengusir keganjalan dihatinya. Pria yang aneh. Sejenak matanya terpaku pada buku yang sedang di baca Santos.

"Buku itu lumayan." Ucap si gadis.

Santos menoleh pelan, "Kau tahu buku ini?"

"Aku suka karya-karya Fabian, tuan."

"Oh ya?" Santos menutup buku, pandangannya fokus pada si gadis, "Tapi kenapa lumayan? menurutku buku ini sangat bagus. Apa alasanmu?"

Gadis itu menunduk tersipu, enggan mengutarakan pendapatnya. Namun ketika  melihat Santos yang antusias menunggu, ia memberanikan diri.

"Fabian biasanya sangat peka dengan penderitaan setiap tokoh yang ia tulis. Namun buku itu nampak tidak peduli pada si Madam pemilik rumah merah. Aku tidak merasa kalau Madam Tory pantas diperlakukan seperti binatang hanya karena ia melarang tokoh utama untuk jatuh hati pada pelanggannya."

Santos memegang dagu, " Tapi ia menyebabkan kematian banyak orang setelah konflik di balai kota."

"Itu bukan kesalahannya, tuan. Ia hanya mengikuti perintah si tuan tanah. Tidak ada manusia yang berbuat jahat tanpa alasan. Kematian madam Tory membuktikan kalau Marie si tokoh utama telah membuat kesalahan besar." Ujarnya.

"Dengan mencintai laki-laki itu, Marie menyebabkan perebutan kekuasaan ketika ia mengandung putra dari ahli waris kerajaan, hingga akhirnya kerajaan itu musnah karena perang." Jawab Santos sembari tertawa kecil.

"Benar sekali," gadis itu meletakan gelas diatas meja, lalu punggungnya menjurus penuh semangat ke arah Santos, "Untuk apa Madam Tory mengorbankan dirinya? bukan untuk apa-apa. Marie terlalu egois untuk melihat bahwa ia penyebab jatuhnya kerajaan mereka."  

"Tapi apa menurutmu cinta tidak sepadan dengan itu semua? Marie hanyalah manusia yang bertindak atas keinginannya untuk bahagia. Ia terlalu sederhana untuk berfikir akan nasib orang banyak." Ujar Santos.

"Cinta ditukarkan dengan nyawa orang banyak? maaf, tapi itu sangat menggelikan, tuan." 

Seketika gadis itu sadar bahwa ia terlalu bersemangat berbincang dengan si pria, hingga tubuh mereka sangat berdekatan. Ia menarik kembali tubuhnya dan menunduk malu.  

Santos menatap kagum wanita disampingnya. Ia tidak menyangka bahwa buku bersampul merah ini membuatnya mengenal seorang gadis yang sangat menarik.

 "Itu analisa yang luar biasa. Maaf, tapi aku belum tahu namamu." Santos memasukan buku ke dalam kantong jasnya.

"Selena Banderas, tuan..."

"Santos Qasillas. Panggil saja aku Santos. Maukah kau berdansa denganku, Selena?"

***

Orkestra menggema megah di ruangan dansa ketika untuk pertama kalinya, sang tuan muda kediaman Qasillas menderapkan kakinya di lantai dansa. Tangan Santos lembut merangkul pinggang Selena, keduanya anggun berputar di tengah lantai dansa bak penari yang telah berlatih bersama selama bertahun-tahun, terikat harmoni kelas atas tanpa cela pada setiap langkah kaki. 

"Kau pandai sekali menari, Selena." Ujar Santos sembari tersenyum ramah pada gadis dalam pelukannya.

"Tuan juga tidak buruk." Jawab gadis itu sembari berputar dibawah lengan Santos, lalu kembali merangkulnya kedepan dan kebelakang.

"Kau tahu," Santos mendekatkan bibirnya ke telinga si gadis, "aku mengenal semua bangsawan di ibukota, bahkan Carlos Banderas. Tapi aku tidak pernah mendengar bahwa ia memiliki anak perempuan, ataupun istri baru. Jadi siapa kau sebenarnya?"

Gadis itu menatap Santos dengan hampa, namun matanya berkaca menunjukan kesedihan. Sejenak langkah tariannya mulai kehilangan harmoni. 

"Memang benar, tuan. Carlos Banderas ialah pamanku. Aku berasal dari desa dan diangkat paman Carlos sebagai anak setelah kematian orang tuaku beberapa bulan lalu karena serangan bandit." 

Santos tertegun melihat kesedihan si gadis, dahinya mengkerut, "Apa nama desamu, Selena?"

"Desa Florina, tuan Santos." Ujarnya sembari menatap Santos setengah menangis.

Tentu saja. Sekeras apapun kita menyembunyikan bangkai, pasti akan tercium juga._ Pikir Santos yang kembali diingatkan oleh kegagalannya di desa Florina.

"Maafkan aku, Selena. Aku tidak bermaksud membuatmu menangis. Belasungkawaku pada keluargamu." Jawab Santos memasang wajah prihatin yang mampu menandingi penampilan aktor panggung sandiwara.

"Tidak apa-apa, Santos. Paman Carlos juga cukup baik untuk menghiburku dan mengajakku kesini. Padahal aku mendengar para pelayan berkata bahwa ia tidak suka pergi ke pesta dansa."

"Senang bisa tahu kalau aku dan pamanmu punya kesamaan." Ujar Santos.

"Kau berbohong, Santos." Selena melepaskan genggaman si tuan muda, lalu berputar ke kiri dan kekanan mengikuti alunan musik.

"Kenapa kau berkata begitu?"

"Karena tarianmu terlalu sempurna untuk orang yang tidak menyukai pesta dansa. Kau hanya tidak pernah menari dengan orang yang tepat." Jawab Selena kembali tenggelam dalam pelukan si tuan muda, berputar ditengah lantai dansa hingga orkestra berhenti melambungkan melodi, digantikan oleh tepuk tangan meriah dari para bangsawan.

"Mungkin kau benar, Selena." Santos tersenyum, menundukan kepala sebagai tanda hormat pada lawan dansanya.

Sesaat setelah lagu berikutnya dimainkan, Selena menarik tangan Santos meninggalkan ruangan dansa. Mereka menaiki tangga lalu menuju balkon untuk mencari udara segar.  Berbekal minuman di tangan, keduanya tenggelam dalam obrolan hangat nan panjang ditemani cahaya rembulan.

"Lalu Jonas bilang pada ayahku, 'Meski dewa berkenan sekalipun, tuan Santos tidak akan bisa mengayunkan pedang dengan benar. Aku pernah bertemu wanita penghibur dengan genggaman yang lebih kuat dari tuan muda,' begitu katanya." Seru Santos sambil tertawa terbahak-bahak. 

Selena ikut tertawa bukan hanya karena lelucon Santos, tapi karena melihat sisi yang sangat berbeda dari sang tuan muda ketika alkohol mempengaruhinya. Keanggunan dan wibawa yang ia miliki seolah terganti oleh kehangatan seorang kawan lama yang tidak pernah hilang meski terpisahkan oleh waktu.

"Jadi kau tidak belajar ilmu pedang lagi?" Tanya Selena.

"Ayah sudah bosan mencarikanku guru. Lagian aku juga merasa kalau kekerasan tidak cocok untukku. Jadi aku memutuskan untuk mempertajam hal lain selain ujung pedang."

"Seperti apa?"

"Pikiranku.."

Seketika bunyi ledakan terdengar dari lantai bawah. Kaget, Santos berlari menuju tangga untuk melihat apa yang terjadi.  Pintu depan hancur berkeping-keping karena ledakan. Beberapa saat kemudian puluhan orang bersenjata tajam mulai memasuki ruangan dansa. Mereka mengenakan rompi tebal berwarna hitam beserta kain abu-abu yang menutupi wajah.

"Apa itu tadi?" Tanya Selena yang mengikuti Santos dari belakang. Nafasnya tak karuan karena panik.

"Bandit." Aneh. benar-benar aneh_ pikir Santos.

Bandit? menyerang kediaman Qasillas? mereka pasti sudah bosan hidup. Segera Santos merangkul jemari Selena dan menariknya menyeberangi ujung tangga melewati lorong menuju ruangan di sudut rumah.

"Kita harus bersembunyi dulu." Ujarnya.

"Tu..tunggu dulu. bagaimana dengan pamanku?" Selena melepaskan genggaman Santos lalu berhenti berlari, enggan meninggalkan pamannya yang masih berada dibawah.

Sesaat kemudian seorang prajurit berambut uban mendatangi mereka berdua. Ia menggenggam pedang rapier ditangannya, wajahnya dipenuhi kelegahan ketika ia melihat Santos.

"Jonas, Dimana ayahanda?" Tanya Santos pada kapten prajurit keluarga Qasillas. 

"Tuan Qasillas bersama pangeran sudah diamankan di ruang rahasia, tuan muda. Namun karena perintah dari pangeran, tidak ada yang diijinkan masuk ke ruangan itu sebelum keadaan terkendali. Anda harus bersembunyi di ruangan lain,  tuan Santos."

"Bagaimana dengan pasukan bantuan?"

Sang kapten menunjuk kearah balkoni, nampak dua prajurit lain sedang menyalakan kembang api ke langit, memberi tanda bahwa sedang ada serangan dan salah satu anggota kerajaan terlibat didalamnya.

"Baguslah, kalau begitu tidak akan lama lagi bantuan menuju kemari. Kau pergilah kebawah dan jangan coba melawan. Pastikan para tamu menuruti permintaan bandit-bandit itu dan ulur waktu selama mungkin. Aku dan nona Banderas akan bersembunyi di ruangan penyimpanan." Perintah Santos.

"Baiklah, tuan."

Santos berbalik pada Selena yang masih saja terlihat khawatir akan nasib pamannya.

"Pamanmu akan baik-baik saja. Jonas akan menjaganya hingga bantuan datang. Rumah ini selalu aman dari mata elang sebab ia penjaga burung yang handal." Ujar Santos sembari memegang bahu Selena dengan lembut.

Meski ragu-ragu, Selena mengangguk dan bersedia meninggalkan tempat itu menuju ruangan penyimpanan bersama Santos. setelah menelusuri lorong panjang keduanya masuk kedalam pintu sedang di sudut lantai dua. 

Dari luar, tidak ada yang terlihat spesial di ruangan itu. Namun setelah masuk, ruangan itu dipenuhi oleh puluhan koleksi-koleksi berharga. Mulai dari baju zirah berlapis emas, gading dan tulang raksasa hewan purba, senjata-senjata antik, hingga puluhan guci dan pajangan dari negri asing nan jauh yang mengundang mata untuk mengaguminya. 

Disudut ruangan nampak sebuah meja kerja dengan minuman diatasnya. Segera Santos menuangkan minuman dan memberikannya pada Selena.

"Kita aman disini. Jika mereka sampai menerobos kemari, kita bisa melewati jalan rahasia di balik rak buku itu." Ujar Santos sembari menunjuk rak besar berisi ratusan buku di dinding ruangan.

"Trimakasih, Santos." Ucap Selena sembari tersenyum hangat menerima gelas minuman.

Santos membalikan badan, berniat menuangkan satu gelas lagi sebelum benda tajam sedingin es melekat dilehernya. Hal itu sontak membuatnya mengangkat tangan.

"Trimakasih karena sudah membawaku kemari." Ujar Selena datar dengan suara setengah berdesis bak ular derik yang siap menerkam mangsanya. 

"Selena, apa-apaan ini?" 

"Ini pembalasan, tuan muda bajingan! sekarang berikan benda itu." Selena menjuruskan pisau pembunuh ke leher Santos. Ia melepaskan gaun panjang dipinggangnya, meninggalkan celana hitam dari kulit yang memudahkannya bergerak.

"Aku tidak tahu maksudmu. Ambil saja barang berharga yang ada disini. Tapi tolong biarkan aku hidup." Pintah si tuan muda, suaranya gemetaran.

"Jangan pura-pura bodoh," Pisau menembus kulit leher Santos, darah mengalir membasahi ujung pisau, "Desa Florina hancur lebur karena dirimu, Santos Qasillas. Berikan buku itu padaku." Ujar gadis itu.

Santos terdiam sejenak. Sekarang semuanya jelas. Gadis ini mengincar benda yang paling berharga di ruangan ini. Buku catatan rencana pembangunan yang dirancang dirinya dan sang ayah. 

Buku yang berisi nama, waktu dan tempat operasi gelap yang dijalankan keluarga Qasillas untuk mengontrol harga bahan tambang di kerajaan mereka. Operasi yang membuat para penambang di desa Florina menjadi putus asa dan mencuri dari pemerintah.

"Aku tidak membunuh warga desamu. Kalian tahu kalau menggelapkan hasil tambang adalah perbuatan ilegal." Ujar Santos tak ingin melanjutkan kebohongannya. 

"Mereka tidak akan melakukannya kalau bukan karena harga miring yang kau sebabkan. Berikan buku itu, dan akan ku buat seluruh kerajaan ini mengincar kepalamu!" Pisau Selena menusuk semakin dalam ke leher tuan muda.

"Baiklah, tapi singkirkan dulu pisau ini dari leherku."

Selena memindahkan benda itu ke belakang leher Santos sembari berkata,

"Bertindak macam-macam dan kau akan kubuat lumpuh!"

Santos melangkah menuju sebuah lukisan buah-buahan di belakang meja kerja. Ia membuka lukisan bak jendela, nampak sebuah lebari besi yang terkunci dibalik lukisan tersebut. 

"Harusnya aku sudah bisa menebak,"Santos memutar kombinasi pada lemari itu. "gin dengan perasan jeruk dan ramuan absin, mana ada gadis yang punya selera sepertiku?"

Selena tersenyum,"Kau benar, itu minuman yang menjijikan. Sangat cocok untuk pria menjijikan sepertimu."

"Menyukai karya Fabian, katamu. Gadis mana yang suka membaca tulisan pecundang kesepian seperti dia? Semuanya kau lakukan hanya untuk menjebakku." Seru Santos penuh kekecewaan.

"Jangan banyak bacot, berikan saja buku itu!" perintah Selena tak ingin mendengarkan keluhan pria didepannya.

 Beberapa saat kemudian, Santos mengeluarkan buku bersampul hijau yang masih tersegel dari dalam lemari, lalu berbalik menghadap Selena. 

 "Kau benar-benar gagak yang licik, Selena. Untung saja aku punya pemburu yang handal." Santos tersenyum licik.

Secepat kilat, Selena meloncat kesamping menghindari ayunan rapier kapten Jonas. Pria paruh baya itu menebas dengan bengis kearah si gadis yang hanya bisa menghindar.

"Kenapa lama sekali, Jonas? aku kira kau sudah lupa akan kode yang kuberikan." Protes si tuan muda.

Sebelum masuk ke ruangan ini, Santos mengatakan "mata elang" yang berarti ada mata-mata yang berada didekatnya. Sejak awal ia sudah menduga kalau gadis itu punya maksud tertentu. Sekarang Santos hanya perlu tahu siapa yang mengirimnya.

"Jangan lukai dia terlalu parah, Jonas. Masih ada yang ingin kutanyakan." Ujar Santos.

Akan tetapi tidaklah mudah bagi sang kapten untuk menyerang si gadis. Usia yang lebih mudah membuat Selena dapat bermanuver secara cepat. Sejenak gadis itu mundur menuju puluhan senjata antik yang dipajang di dinding. 

Ia mengambil dua buah belatih kembar dan kini gilirannya menyerang balik telah datang. Dengan cekatan Selena menarikan tarian belatih yang tidak mampu di tandingi oleh Jonas. Santos tenggelam dalam kekaguman pada kelihaian sang gadis memainkan senjata hingga lupa bahwa kaptennya sedang berada dalam bahaya.

Terbawa emosi karena hanya bisa bertahan, Jonas mengayunkan rapier dengan keras hingga menggenai sebuah tiang kayu, membuat pedang yang dipegangnya tersangkut tak bisa dilepaskan. Jonas mundur beberapa langkah ketika belatih elena mendekatinya. Ia mengeram kesakitan saat belatih beradu dengan baju zirahnya, hingga akhirnya Jonas hanya bisa berlutut tak kuasa menahan serangan demi serangan dari Selena. 

"Tunggu dulu!" Seru Santos menghentikan ayunan belatih Selena kearah kepala Jonas, "Ambil buku ini, jangan bunuh anak buahku." Ia mengulurkan buku bersampul hijau pada Selena.

Gadis itu menendang Jonas dengan keras hingga menghempaskan sang kapten pada pajangan antik di sudut ruangan. Selang beberapa saat, suara pasukan bantuan terdengar di bawah. 

Secepat kilat Selena merebut buku itu dari tangan Santos. Ia memecahkan jendela ruangan, berniat untuk melompat kebawah. 

"Selena!" Santos kembali berseru.

Gadis itu menoleh kearahnya.

"Bisakah kita bertemu lagi? Aku masih ingin berdansa denganmu."

Selena menatapnya keheranan, tak kuasa menghadirkan penjelasan masuk akal akan permintaan itu.

"Aku bisa saja menebas lehermu hari ini. Tapi lebih baik kusebarkan isi buku ini pada musuh-musuhmu, Qasillas. Jika kau masih hidup pada saat itu, aku akan datang dan membunuhmu dengan tanganku sendiri."

Gadis itu meloncat dari jendela lalu menghilang ditelan kegelapan malam.

"Aku menantikannya." Ucap Santos sambil tersenyum.

Si tuan muda membangunkan Jonas dari balik pecahan keramik antik yang berserakan di ruangan penyimpanan. Ia memangku pria itu menuju pintu keluar ketika mendengar terompet pasukan kerajaan dari lantai bawah berkumandang, tanda bahwa para bandit sudah diamankan. Sang kapten bergerutuh karena tak terima dikalahkan oleh seorang gadis.

"Jika ada yang bertanya, bilang kalau sepuluh bandit menyerangku bersamaan. Paham kau, Santos?" Perintah kapten Jonas.

Belum sempat Santos menjawab, pintu ruangan itu  didobrak oleh dua prajurit beserta ayahanda yang menerobos masuk kedalam.

"Santos! kau tidak apa-apa? Apa yang terjadi, nak?" Tanya sang ayah sembari memegang-megang wajah putranya, mencari bekas luka yang mungkin tertinggal.

"Aku menemukannya, yah" Jawab Santos, senyuman berseri di wajahnya.

"Apa maksudmu, nak?"

Jonas memutar kedua bola matanya, menebak omong kosong yang akan keluar dari mulut Santos,"Lupakan saja, tuan muda."

Santos menatap sang ayah, matanya berbinar penuh harapan akan sebuah mimpi yang berakar dari perasaan semu sesaat, atau mungkin cinta yang selama ini didambakan oleh hati dinginnya.

"Calon istriku, sudah kutemukan."Ujarnya.

***

Selena memasuki kereta kuda yang menunggunya di pinggir jalan gelap. Setelah keluar dari kediaman Qasillas, ia segera pergi ke jalanan sunyi ini sesuai perjanjian. Transaksi akan dilakukan di dalam kereta ini, lalu ia akan keluar seperti tidak pernah terjadi apa-apa. 

"Sudah kau dapatkan bukunya?" Ujar suara dari samping tempat duduk kereta tersebut. Kurangnya lampu jalan yang menerangi membuat wajah orang itu terselubung gelap malam.

"Sesuai perjanjian." Selena memberikan buku bersampul hijau itu pada si pria.

Pria itu membuka dan membaca isi buku. Ia tertegun lalu menatap Selena dengan tajam, tatapan yang mampu memotong kegelapan malam.

"Lelucon macam apa ini, gadis gagak?"

Ia mengembalikan buku itu pada Selena yang kebingungan. Gadis itu membuka buku, lalu terkejut saat membaca tulisan yang berbunyi "Daun Merah" karya Fabian Morinho. Apa? tidak mungkin, bagaimana bis_

Seketika Selena teringat akan kekacauan di ruang penyimpanan. Santos pasti menukar sampul buku yang asli dengan buku cerita yang di bacanya saat Selena sedang bertarung dengan si kapten. Dasar tuan muda berengsek!

"Sepertinya aku membuat kesalahan. Tapi jangan khawatir akan kuperbaiki." Ujar selena was-was.

Pria itu menarik nafas panjang, "Dalam pekerjaan kita, tidak ada kesempatan kedua."

Jantung si gadis berdegup kencang, segera ia berusaha membuka pintu kereta.

Sang pria mengeluarkan sebuah benda dari balik jasnya, "Kesalahan berarti kematian."

Tamat?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun