Wajahnya juga tak terlihat. Kondektur itu memakai topi. Mukanya hingga sebatas puncak hidung ditutupi buff sebagai pengganti masker. Bahkan sorot matanya pun tidak bisa kulihat karena temaram cahaya yang bisa menerangi wajahnya terhalangi oleh pet topinya yang dibenamkan dalam-dalam.
"Pak, saya nanti turun di Puraraya, ya, di simpang tiga Alingga," ujarku.
Kondektur itu hanya megangguk kecil tanpa bersuara sama sekali lalu berjalan ke depan.
"Perusahaan bus apaan nih... kru-nya pada aneh. Tadi agennya kaku dan tidak ramah, sekarang kondekturnya juga pelit bicara," gerutuku dalam hati.
Kembali kuedarkan pandangan ke sekeliling. Masih sama, semua penumpang duduk diam dan menekur dalam-dalam.
Aku lihat HP, baterai-nya tersisa tiga puluh lima persen. Segera kumatikan untuk menghemat daya. Karena perjalanan masih lumayan lama, sekitar empat jam. Sementara aku tak membawa powerbank.
Karena tidak ada yang bisa dilakukan lagi, akhirnya akupun memejamkan mata, kembali berusaha tidur. Kombinasi rasa letih, jalanan yang mulus, dan laju bus yang tenang, membuatku segera terlelap.
Sudah cukup lama rasanya aku tertidur ketika terbangun karena bus terasa berguncang-guncang. Aku kucek-kucek mata sambil mengumpulkan kesadaran.
Suasana dalam bus benar-benar gelap. Tak ada sama sekali bias cahaya yang masuk. Pertanda bus sedang melewati daerah yang tidak ada penerangan sama sekali di sekitarnya. Sementara cahaya bulan pun tak ada karena tanggal yang masih jauh menuju purnama.
Lampu kabin juga tak satupun yang hidup. Kembali kucoba pencet tombol lampu yang persis berada di atas kepala. Namun, sama seperti tadi, lampu tetap tak bisa hidup.
Benar-benar gelap. Kumiringkan kepala ke kiri lalu melongok ke depan. Terlihat cukup jelas kondisi jalan yang sedang dilalui bus karena sorot cahaya headlamp-nya yang lumayan terang.