"Maaf, Pak. Jika saya naik bis jam sepuluh, apakah kira-kira aman di perjalanan?" tanyaku lagi pada si agen bus.
"Aman," jawabnya singkat. Nadanya masih tak simpatik dan tetap tak ada raut ramah di wajahnya.
Aku lihat ke arah bus itu. Terlihat beberapa penumpang menaikinya. Aku agak lega. Toh ada beberapa penumpang lainnya. Aku tak perlu terlalu khawatir. Jika memang perjalanan malam berbahaya, tentunya tak mungkin ada penumpang yang mau naik bus itu.
Meski belum sepenuhnya yakin, akhirnya kuputuskan ikut bus itu. Keinginan segera tiba di rumah membuatku mengenyampingkan segala rasa ragu.
Aku beli tiket dari si agen berwajah kaku. Setelah menerima tiket aku pun segera menaiki bus.
Di dalam bus aku lihat ada sekitar tujuh orang penumpang yang sudah duluan naik. Mereka tersebar. Ada yang duduk di deretan bangku bagian depan, tengah maupun belakang.
Suasana dalam bus gelap karena tak satupun lampu yang menyala. Aku tak bisa melihat wajah para penumpang itu dengan jelas. Apalagi mereka semua terlihat menekur dalam-dalam. Barangkali ada yang tertidur karena kelelahan.
Aku memilih duduk di bangku baris ke tiga sayap kanan.
Setelah duduk dengan nyaman, aku amati seisi bus. Bus ini sepertinya sudah cukup tua dan kurang terawat. Sarung jok nya terlihat sudah lusuh dan sobek di beberapa bagian. Di langit-langitnya beberapa fentilator AC sudah dol. Tak bisa lagi disetel untuk mengatur arah embusan angin. Aku coba pencet tombol lampu di plafon persis di atas kepala, tak bisa menyala.
Aku longok ke depan, dekat posisi sopir. Tak terlihat perangkat audio video sebagaimana layaknya ada pada kebanyakan bus-bus zaman sekarang.
Pandangan dari kursi penumpang ke jok sopir terhalang karena ada sekat fiberglass di belakang kursi pengemudi. Bus-bus tertentu memang memasang sekat pembatas antara penumpang dan sopir, dengan tujuan supaya sopir bisa fokus saat mengemudi.