Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen Pilihan

Perjalanan Malam

26 Juni 2021   16:43 Diperbarui: 26 Juni 2021   17:34 217 2
"Bus yang jam delapan sudah jalan, Pak. Bapak bisa naik bus terakhir jam sepuluh nanti," ujar agen bus malam itu dengan nada datar. Wajahnya terlihat kaku tanpa ekspresi.

Aku telat sepuluh menit tiba di terminal karena macetnya jalanan. Selesai acara penutupan diklat tadi, aku memilih segera ke terminal mengejar bus jam delapan malam untuk pulang ke kotaku, Puraraya. Namun, malang, meski taksi online yang kutumpangi sudah berusaha ngebut, aku tetap telat.

Sebenarnya aku bisa memilih pulang besok saja. Tapi kerinduan pada keluarga membuatku memilih langsung pulang malam ini juga. Tiga minggu mengikuti diklat membuat rasa kangenku pada keluarga tak tertahankan lagi.

Namun, karena bus jam delapan sudah jalan, aku menjadi sedikit ragu.

Sejenak aku berpikir, tetap pulang malam ini dengan menumpang bis jam sepuluh, atau balik saja ke hotel dan menginap satu malam lagi. Besok saja pulang ke Puraraya dengan bus pagi atau siang.

Sebab, ada keraguan di hatiku jika harus naik bus jam sepuluh. Karena jalur dari kota Astina ini ke Puraraya terkenal rawan.

Aku dengar banyak bus malam yang dibegal di sekitar kawasan lembah Tanahhitam. Lembah itu berada di tengah-tengah antara Kota Astina dan Kota Puraraya yang berjarak lebih kurang 180 kilometer.

Kata orang-orang, di sekitar lembah itu memang banyak perampok bersarang. Karena lokasinya sangat sepi. Dilingkung hutan lebat. Suasananya mencekam, terutama malam hari.

Selain itu, isunya lembah itu juga angker. Sering ada kejadian mistis. Konon kabarnya, zaman penjajahan Jepang, tempat itu menjadi ladang pembantain para pejuang pergerakan yang berhasil ditangkap oleh tentara Jepang. Mereka dibunuh dan mayat-mayatnya dibiarkan bergelimpangan begitu saja di sana dan menjadi santapan hewan-hewan liar. Tak heran kalau diisukan angker.

Jalan yang membelah lembah itu sebenarnya tak seberapa panjang, hanya sekitar tiga kilometer. Namun, kondisinya rusak parah. Sering diperbaiki, akan tetapi tak lama kemudian kembali rusak. Konon, penyebabnya karena jalanan itu berada di atas jalur patahan gempa, sehingga tanahnya labil. Itu lah sebabnya tiap kali selesai diaspal, tak lama kemudian kembali amblas, bergelombang, dan berlobang-lobang.

Karena parahnya kondisi jalan, kendaraan yang lewat di sana hanya bisa berjalan pelan. Ini lah yang sering dimanfaatkan oleh para bajing loncat. Merampok mobil-mobil naas yang melintasi kawasan itu di malam hari.

"Maaf, Pak. Jika saya naik bis jam sepuluh, apakah kira-kira aman di perjalanan?" tanyaku lagi pada si agen bus.

"Aman," jawabnya singkat. Nadanya masih tak simpatik dan tetap tak ada raut ramah di wajahnya.

Aku lihat ke arah bus itu. Terlihat beberapa penumpang menaikinya. Aku agak lega. Toh ada beberapa penumpang lainnya. Aku tak perlu terlalu khawatir. Jika memang perjalanan malam berbahaya, tentunya tak mungkin ada penumpang yang mau naik bus itu.

Meski belum sepenuhnya yakin, akhirnya kuputuskan ikut bus itu. Keinginan segera tiba di rumah membuatku mengenyampingkan segala rasa ragu.

Aku beli tiket dari si agen berwajah kaku. Setelah menerima tiket aku pun segera menaiki bus.

Di dalam bus aku lihat ada sekitar tujuh orang penumpang yang sudah duluan naik. Mereka tersebar. Ada yang duduk di deretan bangku bagian depan, tengah maupun belakang.

Suasana dalam bus gelap karena tak satupun lampu yang menyala. Aku tak bisa melihat wajah para penumpang itu dengan jelas. Apalagi mereka semua terlihat menekur dalam-dalam. Barangkali ada yang tertidur karena kelelahan.

Aku memilih duduk di bangku baris ke tiga sayap kanan.

Setelah duduk dengan nyaman, aku amati seisi bus. Bus ini sepertinya sudah cukup tua dan kurang terawat. Sarung jok nya terlihat sudah lusuh dan sobek di beberapa bagian. Di langit-langitnya beberapa fentilator AC sudah dol. Tak bisa lagi disetel untuk mengatur arah embusan angin. Aku coba pencet tombol lampu di plafon persis di atas kepala, tak bisa menyala.

Aku longok ke depan, dekat posisi sopir. Tak terlihat perangkat audio video sebagaimana layaknya ada pada kebanyakan bus-bus zaman sekarang.

Pandangan dari kursi penumpang ke jok sopir terhalang karena ada sekat fiberglass di belakang kursi pengemudi. Bus-bus tertentu memang memasang sekat pembatas antara penumpang dan sopir, dengan tujuan supaya sopir bisa fokus saat mengemudi.

Aku kembali mencoba mengamati penumpang lain. Ingin mengajak salah seorang di antara mereka ngobrol. Setidaknya bertanya ke mana tujuan mereka. Siapa tahu ada yang berdekatan dengan tujuanku.

Namun, masih sama dengan saat aku naik tadi. Semua diam dan menunduk di tempat duduk masing-masing.

Aku melongok ke belakang. Berusaha melihat lebih jelas pada penumpang yang posisinya paling dekat. Dua deret di belakangku.

Sepertinya seorang perempuan berambut panjang. Tapi tak bisa kukenali wajahnya. Karena dia memakai masker. Kening bahkan matanya nyaris tertutup semua oleh rambut panjangnya yang tergerai. Dari tadi dia juga terlihat terkulai tak bergerak-gerak. Sepertinya tertidur.

Tak ada yang bisa kuajak ngobrol.

Aku alihkan pandangan ke luar, suasana terminal sudah sepi. Selain bus ini, hanya ada dua bus lain yang juga masih menunggu jadwal keberangkatan.

Tak terlihat lagi ada pedagang asongan yang kalau siang hari ramai menjajakan dagangannya kepada para pengunjung terminal.

Aku lirik jam tangan, baru pukul sembilan. Masih satu jam lagi jadwal keberangkatan. Karena kelelahan, akupun tertidur.

*****

Aku terbangun oleh colekan kondektur yang meminta tiketku. Rupanya bus sudah jalan. Aku perhatikan suasana kiri - kanan. Sepertinya sudah di luar kota. Terlihat dari suasana yang tidak lagi padat.

Aku rogoh saku celana lalu menyerahkan tiket pada si kondektur. Dia menyobek tiket itu lalu menyerahkan salah satu potongannya kepadaku. Aku pun segera memasukkan sobekan tiket itu kembali ke saku celana.

Wajahnya juga tak terlihat. Kondektur itu memakai topi. Mukanya hingga sebatas puncak hidung ditutupi buff sebagai pengganti masker. Bahkan sorot matanya pun tidak bisa kulihat karena temaram cahaya yang bisa menerangi wajahnya terhalangi oleh pet topinya yang dibenamkan dalam-dalam.

"Pak, saya nanti turun di Puraraya, ya, di simpang tiga Alingga," ujarku.

Kondektur itu hanya megangguk kecil tanpa bersuara sama sekali lalu berjalan ke depan.

"Perusahaan bus apaan nih... kru-nya pada aneh. Tadi agennya kaku dan tidak ramah, sekarang kondekturnya juga pelit bicara," gerutuku dalam hati.

Kembali kuedarkan pandangan ke sekeliling. Masih sama, semua penumpang duduk diam dan menekur dalam-dalam.

Aku lihat HP, baterai-nya tersisa tiga puluh lima persen. Segera kumatikan untuk menghemat daya. Karena perjalanan masih lumayan lama, sekitar empat jam. Sementara aku tak membawa powerbank.

Karena tidak ada yang bisa dilakukan lagi, akhirnya akupun memejamkan mata, kembali berusaha tidur. Kombinasi rasa letih, jalanan yang mulus, dan laju bus yang tenang, membuatku segera terlelap.

Sudah cukup lama rasanya aku tertidur ketika terbangun karena bus terasa berguncang-guncang. Aku kucek-kucek mata sambil mengumpulkan kesadaran.

Suasana dalam bus benar-benar gelap. Tak ada sama sekali bias cahaya yang masuk. Pertanda bus sedang melewati daerah yang tidak ada penerangan sama sekali di sekitarnya. Sementara cahaya bulan pun tak ada karena tanggal yang masih jauh menuju purnama.

Lampu kabin juga tak satupun yang hidup. Kembali kucoba pencet tombol lampu yang persis berada di atas kepala. Namun, sama seperti tadi, lampu tetap tak bisa hidup.

Benar-benar gelap. Kumiringkan kepala ke kiri lalu melongok ke depan. Terlihat cukup jelas kondisi jalan yang sedang dilalui bus karena sorot cahaya headlamp-nya yang lumayan terang.

Benar ternyata. Bus ini sedang merayap pelan dan terguncang-guncang di jalanan yang kondisinya buruk. Banyak lubang dan beberapa bagian amblas.

Selain kondisinya yang rusak parah, jalanan ini ternyata juga berbelok-belok. Kiri kanannya hutan belantara yang terlihat seperti tabir kelam di tengah suasana malam yang sangat gelap.

'Tanahhitam! Pasti saat ini bus sedang berjalan pelan membelah kawasan lembah Tanahhitam," batinku.

Rasa tegang menyelusup ke hati. Ini lah tempat yang ditakuti itu. Lembah yang katanya banyak begal dan angker. Nyaliku sedikit ciut. Kugumamkan beberapa baris doa memohon keselamatan.

Tiba-tiba aku teringat bahwa dari tadi aku belum tahu, apa nama perusahaan bus yang kutumpangi ini.

Kuingat-ingat lagi ke belakang.

Ketika sampai di terminal tadi, aku langsung disongsong oleh si agen berwajah dingin. Dia infokan bahwa bus jam delapan sudah jalan dan menawari aku untuk naik bus terakhir jam sepuluh.

Aku akhirnya memutuskan ikut saran itu. Segera membeli tiket dengan harga seperti biasa dan langsung naik.

Astaghfirullaah, aku teringat. Saking tidak fokusnya tadi, aku sama sekali tak memperhatikan apa nama bus ini. Bahkan tiketnya pun tak kulihat. Langsung kumasukkan saja ke saku celana. Benarkah ini bus PO Berkat Yakin yang memang melayani trayek Astina - Puraraya?

Jantungku berdetak cepat. Segera kuangkat sedikit bokong, lalu merogoh-rogoh saku celana. Mencari potongan tiket yang diberikan kondektur tadi. Aku ingin membaca nama PO Bus yang tertera di sobekan tiket itu.

Ketika jari-jariku merasakan lembaran tipis dalam saku celana, buru-buru kutarik dan menerawangnya.

Sontak aku terperanjat melihatnya.

Selembar daun kering!

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun