Mohon tunggu...
Ares Brilatin
Ares Brilatin Mohon Tunggu... Penjaga Mimpi

Tinggal di Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Bali dalam Cermin: Mengapa Angka Saja Tak Cukup?

18 September 2025   10:52 Diperbarui: 18 September 2025   11:10 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Pemandangan Danau dan Gunung Batur, Bali. Sumber: dokumen pribadi 

Tidak ketinggalan, ekonomi kreatif menjadi motor penggerak baru. Berbekal kekayaan budaya yang tak ada duanya, Bali tengah memfasilitasi para seniman, desainer, dan start-up digital untuk berkembang. Ini adalah langkah strategis untuk menciptakan ekonomi yang lebih tangguh dan adaptif.

Pada akhirnya, tantangan terbesar adalah bagaimana mengimplementasikan semua rencana ini. Diversifikasi ekonomi bukanlah proses yang mudah atau instan. Ini membutuhkan dukungan jangka panjang, investasi yang tepat, dan kolaborasi dari semua pihak. Meski begitu, satu hal yang pasti, Bali tidak ingin lagi jatuh ke lubang yang sama. Pengalaman pandemi mengajarkan bahwa ekonomi yang kuat adalah ekonomi yang berdiri di atas banyak kaki, bukan hanya satu.

Meskipun tingkat pengangguran di Bali rendah, tingginya jumlah pekerja di sektor informal dan ketidaksesuaian antara keterampilan tenaga kerja dengan kebutuhan pasar menjadi isu penting.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) secara konsisten menunjukkan bahwa Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Bali berada di bawah rata-rata nasional. Per Februari 2024, TPT di Bali tercatat sebesar 1,86%. Angka ini jauh di bawah TPT nasional yang sebesar 4,94%, dan menunjukkan adanya perbaikan signifikan dari tahun-tahun sebelumnya. Sekilas, angka ini mengindikasikan kondisi pasar kerja yang sangat sehat dan pemulihan ekonomi yang solid, terutama setelah pandemi.

Namun, angka TPT yang rendah tersebut perlu dicermati lebih dalam. BPS juga mencatat bahwa persentase pekerja informal di Bali sangat tinggi. Per Februari 2024, dari total angkatan kerja, sebanyak 68,95% bekerja di sektor informal. Angka ini jauh lebih tinggi dari rata-rata nasional yang berada di kisaran 59%.

Pekerja di sektor informal ini mencakup berbagai profesi, seperti pedagang kecil, pekerja lepas, buruh harian, dan pekerja di usaha mikro yang sering kali tidak memiliki kontrak kerja formal, jaminan upah minimum, atau perlindungan sosial yang memadai. Kondisi ini menyoroti bahwa meskipun banyak penduduk Bali yang terserap dalam dunia kerja, sebagian besar dari mereka berada dalam kondisi kerja yang rentan dan kurang terlindungi.

Tingginya jumlah pekerja informal ini mengindikasikan adanya kesenjangan antara ketersediaan lapangan kerja formal dengan ketersediaan keterampilan tenaga kerja lokal. Meskipun pariwisata menciptakan banyak lapangan kerja, sebagian besar pekerjaan tersebut berada di sektor informal atau di posisi yang membutuhkan keterampilan dasar. Di sisi lain, lulusan sekolah menengah dan universitas di Bali sering kali tidak memiliki kompetensi yang sesuai dengan kebutuhan industri pariwisata yang semakin kompleks, seperti manajemen hotel, digital marketing, atau hospitality yang lebih spesifik.

Kondisi ini menimbulkan pertanyaan kritis: apakah lapangan kerja yang tercipta benar-benar sesuai dengan kompetensi lulusan sekolah dan universitas di Bali? Sektor pariwisata memang menawarkan banyak pekerjaan, tetapi banyak dari pekerjaan tersebut berada di segmen informal atau memerlukan keterampilan khusus yang tidak diajarkan di institusi pendidikan lokal. Alhasil, banyak lulusan terpaksa bekerja di sektor informal, padahal seharusnya mereka bisa mengisi posisi di sektor formal.

Untuk mengatasi hal ini, Bali perlu lebih gencar meningkatkan program-program vokasi dan pelatihan yang relevan dengan kebutuhan industri. Kolaborasi antara sektor pendidikan dan industri pariwisata menjadi kunci untuk menjembatani kesenjangan ini, memastikan bahwa setiap lulusan memiliki keterampilan yang dibutuhkan pasar kerja.

Data BPS menunjukkan pertumbuhan ekonomi yang positif, namun apakah pertumbuhan ini benar-benar dirasakan oleh semua lapisan masyarakat? Angka PDRB bisa saja tinggi, tetapi jika hanya dinikmati oleh segelintir usaha besar, kesenjangan ekonomi justru bisa melebar. Di sinilah pentingnya Sensus Ekonomi 2026. Data BPS terkini memberikan gambaran makro, tetapi tidak mampu menyentuh realitas mikro secara detail.

Sebagai contoh, BPS merilis data jumlah usaha, namun berapa banyak dari usaha-usaha tersebut yang benar-benar aktif dan berkelanjutan? Berapa banyak yang merupakan usaha rumahan atau skala mikro yang belum tercatat resmi? Sensus Ekonomi 2026 akan menjadi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini. Sensus ini akan merekam keberadaan setiap unit usaha, dari warung kecil di sudut gang hingga hotel berbintang, memberikan kita data yang utuh dan akurat. Dengan data ini, kita bisa merumuskan kebijakan yang tidak hanya mendorong pertumbuhan, tetapi juga memastikan pertumbuhan itu inklusif dan berkelanjutan bagi seluruh masyarakat Bali. Ini adalah langkah pertama untuk memastikan bahwa masa depan Bali tidak hanya gemerlap di permukaan, tetapi juga kokoh dari akarnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun