Antara Buku dan Tanggung JawabÂ
Karya : Aprina Enzel Sihotang
Hari-hari berlalu seperti lembaran buku yang terus dibalik. Untuk Arka, setiap pagi dimulai dengan rutinitas yang tak pernah ringan: menyiapkan sarapan seadanya, memandikan Dika, menyuapi ibunya, lalu berlari ke sekolah sebelum lonceng pertama berbunyi. Tak ada waktu untuk bermain atau mengeluh. Arka bahkan sudah melupakan rasanya bangun kesiangan.
Di kelas, ia tetap menjadi anak yang cerdas. Ia mengerjakan tugas-tugas dengan cepat, mencatat dengan rapi, dan menjawab pertanyaan guru dengan percaya diri. Tapi akhir-akhir ini, sesuatu tampak berbeda. Pandangannya sering kosong. Terkadang ia tertidur di tengah pelajaran. Buku-bukunya penuh coretan kecil, bukan rumus atau catatan pelajaran, melainkan daftar harga obat dan kebutuhan rumah.
Suatu siang, setelah pelajaran selesai, Bu Apri memanggil Arka ke ruang guru.
"Arka, duduklah sebentar," katanya sambil menunjuk kursi di hadapannya. Senyumnya ramah, namun sorot matanya tajam---bukan marah, tapi penuh rasa ingin tahu.
Arka duduk pelan. Tangannya menggenggam tali tas sekolahnya yang sudah mulai sobek.
"Akhir-akhir ini kamu sering terlihat lelah. Ibu perhatikan kamu juga suka melamun. Ada sesuatu yang kamu pikirkan?"
Arka terdiam. Dalam benaknya, ada ribuan kata yang ingin diucapkan: tentang malam-malam panjang diisi tangis ibunya, tentang adiknya yang sering bertanya mengapa mereka tak pernah jalan-jalan seperti anak lain, dan tentang rasa takut yang tumbuh setiap kali melihat tubuh ibunya menggigil karena kehabisan obat.
Namun yang keluar hanya satu kalimat pelan, hampir tak terdengar:
"Saya nggak apa-apa, Bu."
Bu Apri menatapnya dalam. Ia tahu, di balik mata anak itu, ada sesuatu yang tidak dikatakan.
"Arka, kamu anak yang pintar dan bertanggung jawab. Tapi kamu juga masih anak-anak. Kamu nggak harus menanggung semuanya sendiri," ucap Bu Apri lembut.
Arka menunduk. Ia merasa seolah-olah kata-kata itu membuka gembok di dadanya, tapi ia belum sanggup membukanya sepenuhnya.
"Kalau kamu butuh bantuan, Ibu selalu ada. Jangan sungkan. Ya ?"
Arka mengangguk pelan. Tapi di hatinya, ada benteng tinggi yang dibangun dari rasa malu dan takut dikasihani.
Hari itu, sepulang sekolah, Arka tidak langsung pulang. Ia mampir ke warung Bu Salamah di gang sebelah sekolah. Di sana, ia membantu mengangkat keranjang sayur dan mengantar pesanan ke beberapa rumah. Sebagai gantinya, ia mendapat upah sepuluh ribu rupiah dan satu kantong beras kecil.
"Mas, hari ini ada beras ya ?" sapa Dika senang saat Arka pulang sambil membawa kantong plastik.
"Iya dong. Besok kita bisa makan nasi goreng, mau?"
Dika mengangguk semangat. Di mata anak tujuh tahun itu, nasi goreng adalah makanan mewah.
Malamnya, Arka duduk di depan buku PR. Lampu redup, bunyi cecak dan batuk ibunya menjadi latar belakang. Tangannya menggenggam pensil yang sudah pendek, lalu menulis perlahan. Di tengah kesunyian, Dika tertidur di pangkuannya.
Arka menatap halaman buku. Di sana tertulis soal-soal matematika, tapi pikirannya justru penuh dengan angka-angka kehidupan: harga susu, biaya ke puskesmas, upah dari warung, dan tabungan kecil di celengan plastik yang terus diisi sedikit demi sedikit.
Ia tahu, usianya baru sepuluh tahun. Tapi dunia sudah membuatnya merasa seperti sepuluh tahun lebih tua.
Meski begitu, di balik lelahnya, Arka menyimpan kekuatan yang luar biasa. Ia tidak punya apa-apa, kecuali satu hal: semangat untuk tidak menyerah.
Dan bagi Arka, itu sudah cukup untuk bertahan hari ini dan berharap pada hari esok.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI