Rumah yang Sepi
Karya : Aprina Enzel Sihotang
Langit masih kelabu ketika suara jam weker kecil berdenting pelan di sudut kamar. Jarum pendek baru menunjuk pukul lima pagi, namun Arka sudah membuka mata. Udara pagi menyusup melalui celah dinding papan rumah mereka yang rapuh. Dingin menusuk, tapi Arka tak mengeluh. Ia sudah terbiasa. Rumah itu memang tak pernah benar-benar hangat sejak ayahnya pergi.
Ia bangkit perlahan, menyibak selimut tipis yang sudah mulai robek di ujung. Sambil berjalan perlahan ke dapur, ia menengok kamar sebelah. Ibunya masih tidur, lebih tepatnya terbaring lemah di atas dipan reyot yang sudah ditopang batu bata. Napas ibunya terdengar berat, diselingi batuk kering yang tajam. Arka menggigit bibir, menahan rasa ingin menangis.
"Mas..." suara kecil memanggil dari kamar.
Arka menoleh dan melihat Dika berdiri di ambang pintu, memeluk boneka kelinci yang warnanya sudah memudar. Rambut adiknya masih acak-acakan, dan matanya masih menyisakan kantuk.
"Mas, kita makan apa pagi ini ?"
Arka menarik napas panjang, berusaha tetap tersenyum. Ia tahu, adiknya masih terlalu kecil untuk tahu bahwa lemari beras mereka sudah kosong sejak dua hari lalu.
"Masak telur, ya. Nanti mas gorengin dua, satu buat kamu, satu buat Ibu," jawabnya sambil mengelus kepala adiknya.
Di dapur, ia membuka lemari kecil tempat menyimpan bahan makanan. Tinggal dua butir telur dan sedikit garam. Ia segera merebus air, memanaskan wajan kecil, dan mulai memasak dengan cekatan. Sementara itu, Dika duduk di lantai, menggambar di sobekan kertas bekas.
Setelah makan, Arya menyuapi ibunya yang lemah.
"Arka, kamu berangkat sekolah dulu. Ibu nggak papa. Bawa buku PR kamu ya," kata Bu Rini lirih.
Arka menunduk. Ia tahu ibunya selalu mengatakan hal itu meski tubuhnya terlihat makin kurus hari demi hari. Ia memeriksa tas sekolahnya hanya ada dua buku tulis dan satu pensil pendek.
Sebelum keluar rumah, ia menoleh sebentar. Ia melihat adiknya duduk di dekat kaki ibunya sambil mengelus pelan kening sang ibu. Pemandangan itu membuat dadanya sesak.
Ia berjalan cepat menyusuri jalan tanah menuju sekolah. Hatinya berat meninggalkan rumah, tapi ia tahu, ia harus sekolah. Itu   satu-satunya jalan untuk mengubah hidupnya kelak.
Di sekolah, ia tersenyum seperti biasa. Menjawab sapa teman-teman, mencatat pelajaran, bahkan membantu Bu Apri membagikan lembar latihan. Tak ada yang tahu bahwa pagi tadi ia hanya makan setengah butir telur dan menyerahkan sisanya untuk adik dan ibunya. Tak ada yang tahu bahwa malam sebelumnya ia terjaga karena suara batuk ibunya yang tak kunjung reda.
Saat bel istirahat berbunyi, Arka duduk sendiri di bawah pohon di pojok lapangan. Ia tak membuka bekal karena memang tak punya. Ia hanya memandangi teman-temannya yang tertawa riang, saling berbagi makanan.
Di sinilah rumah yang sebenarnya sepi. Bukan hanya karena ayahnya pergi, tapi karena hidup telah mencuri masa kecilnya.
Namun dalam hatinya, Arka masih menyimpan secercah cahaya. Ia percaya, akan ada pagi yang lebih cerah, di mana ia bisa tersenyum tanpa rasa cemas. Dan untuk itu, ia harus bertahan demi Ibu, demi Dika, dan demi dirinya sendiri.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI