"Arka, kamu berangkat sekolah dulu. Ibu nggak papa. Bawa buku PR kamu ya," kata Bu Rini lirih.
Arka menunduk. Ia tahu ibunya selalu mengatakan hal itu meski tubuhnya terlihat makin kurus hari demi hari. Ia memeriksa tas sekolahnya hanya ada dua buku tulis dan satu pensil pendek.
Sebelum keluar rumah, ia menoleh sebentar. Ia melihat adiknya duduk di dekat kaki ibunya sambil mengelus pelan kening sang ibu. Pemandangan itu membuat dadanya sesak.
Ia berjalan cepat menyusuri jalan tanah menuju sekolah. Hatinya berat meninggalkan rumah, tapi ia tahu, ia harus sekolah. Itu   satu-satunya jalan untuk mengubah hidupnya kelak.
Di sekolah, ia tersenyum seperti biasa. Menjawab sapa teman-teman, mencatat pelajaran, bahkan membantu Bu Apri membagikan lembar latihan. Tak ada yang tahu bahwa pagi tadi ia hanya makan setengah butir telur dan menyerahkan sisanya untuk adik dan ibunya. Tak ada yang tahu bahwa malam sebelumnya ia terjaga karena suara batuk ibunya yang tak kunjung reda.
Saat bel istirahat berbunyi, Arka duduk sendiri di bawah pohon di pojok lapangan. Ia tak membuka bekal karena memang tak punya. Ia hanya memandangi teman-temannya yang tertawa riang, saling berbagi makanan.
Di sinilah rumah yang sebenarnya sepi. Bukan hanya karena ayahnya pergi, tapi karena hidup telah mencuri masa kecilnya.
Namun dalam hatinya, Arka masih menyimpan secercah cahaya. Ia percaya, akan ada pagi yang lebih cerah, di mana ia bisa tersenyum tanpa rasa cemas. Dan untuk itu, ia harus bertahan demi Ibu, demi Dika, dan demi dirinya sendiri.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI