Mohon tunggu...
Andreas Raditya
Andreas Raditya Mohon Tunggu... :)

:)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sesal, Ada di Akhir Cerita

16 Agustus 2018   16:11 Diperbarui: 16 Agustus 2018   16:28 593
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

            "Selamat pagi bu Manda," sapa salah seorang penduduk dusun.

            Aku hanya mengangguk sambil tersenyum.

            Di dusunku, aku dihargai sebagai seorang ibu. Namun, di beberapa dusun yang aku lalui, aku dikenal sebagai seorang janda beranak satu. Tidak tahu mana yang nyaman didengar oleh telinga, aku tidak peduli dengan anggapan orang-orang itu.

            Sepeda tua kukayuh dengan sekuat tenaga karena jalan yang menanjak. Aku masih ingat dulu ayah yang selalu mengantarkanku ke sekolah. Perjalanan dulu jauh lebih jauh, bukan karena jarak, melainkan medan yang harus ditempuh. Jalanan yang berlumpur setelah diguyur hujan menjadi tantangan bagiku dan ayahku. Sesekali aku harus turun dari sepeda hanya untuk membantu ayahku menuntun sepeda supaya tidak terjatuh ketika jalanan dipenuhi dengan lumpur tebal dan lengket. Maklum saja, dahulu belum ada aspal.

            Dalam perjalanan aku melamun. Teringat ayah.

*****

            "Dek Manda, sudah siap untuk berangkat sekolah?"

            Aku mengangguk. Segera aku mengambil tas dan berdiri di samping sepeda sebelum akhirnya ayah menggendongku untuk duduk di bangku belakang. Dalam perjalanan ayah selalu bercerita tentang ibuku. Katanya, ibuku orangnya ramah, suka menyapa dan baik kepada semua orang. Meskipun sejak lahir aku tidak pernah melihat wajahnya, namun setiap cerita tentangnya selalu membuatku merasa memiliki seorang ibu.

            "Dulu aku sama ibumu sering sekali melalui jalanan berlumpur seperti ini. Apalagi kalau hujan dari semalam awet hingga pagi menjelang, jalanan seperti ini jadi sebuah genangan lumpur," kata ayah girang, mungkin ia sedang mengenang kisahnya dengan ibuku. Tentu kisah yang mereka torehkan adalah kebahagiaan yang hanya bisa dibagikan kepadaku sekarang.

            Gerbang sekolah sudah dekat, teman-temanku sudah banyak berkumpul dan bermain di sana. Tidak seperti ayah-ayah lain, ayahku hanya mengantarkan sampai luar pintu gerbang. Dan aku tidak pernah merengek minta diantar hingga ke depan pintu kelasku.

            Sebelum menurunkanku dari bangku sepeda, ayah berpesan,"Dek Manda, sekolah yang rajin, nurut apa kata guru. Inget, guru itu digugu lan ditiru, jangan nakal sama teman sendiri,"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun