Dugaanku terbukti. Pertanyaan singkat yang membuatku menyayat hati. Aku berusaha untuk tidak peduli, namun hanya jawaban dariku yang Nana nanti.
      Hujan di luar semakin deras, ditambah dengan gemuruh guntur yang semakin menggelegar di telinga. Anak sekecil Nana tampak tidak takut, ia hanya takut tidak memperoleh jawaban dariku. Ia takut tidak akan pernah bertemu dengan ayahnya lagi.
      Di tengah keheningan, aku melihat Nana dengan tatapan nanar.
      Aku sedikit bernostalgia dengan masa kecil. Aku ingat ketika masih berusia lima tahun, sama seperti Nana, aku sering bermain boneka. Bonekaku dulu bernama Benita. Bukan tanpa alasan, nama itu diberikan oleh ayahku sebagai pengganti ibuku yang telah meninggal ketika melahirkan aku. Benita adalah istri ayahku, nama ibuku.
      "Bunda!"
      Aku terperanjat, menghilang dari lamunanku. Aku sadar bahwa aku masih bersama dengan Nana, anakku.
      "Ehm.. ayahmu orang baik, dia akan segera kembali pulang ke rumah, Na" jawabku, "sekarang, ayo kita masuk lalu mandi,"
      Aku berbohong lagi. Tidak seharusnya aku berdusta pada anakku sendiri, sekalipun Nana adalah buah antara aku dan bajingan itu. Aku menyesal.
*****
      Pukul tujuh pagi, Nana minta untuk diantar ke sekolah. Maklum saja, jarak antara rumah ke sekolah sangat jauh. Kami harus melalui tiga dusun untuk bisa sampai ke sekolah Nana.
      Matahari terik. Genangan air tercipta akibat hujan deras semalam yang tidak kunjung usai hingga menjelang terbitnya matahari. Sisa hujan semalam menyisakan rintik-rintik air kecil yang membuat suasana pagi ini sedikit dingin. Embun-embun di dedaunan menyerbakkan aromanya, tenang dan sejuk rasanya.