Mohon tunggu...
Andreas Raditya
Andreas Raditya Mohon Tunggu... Foto/Videografer - :)

:)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sesal, Ada di Akhir Cerita

16 Agustus 2018   16:11 Diperbarui: 16 Agustus 2018   16:28 593
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

SESAL

"Ada di Akhir Cerita"

Oleh : Andreas Raditya

            Hari ini hujan.

            Nana masih bermain bersama bonekanya di beranda rumah. Anak perempuan itu memang suka ngeyel, enggan disuruh masuk. Di luar dingin, derasnya air hujan yang jatuh ke pelataran rumah sangat jelas terdengar. Gemuruh guntur sesekali terdengar jelas di telinga, aku khawatir anakku terlalu asyik bermain hingga ia tidak sadar bahwa hujan semakin deras.

           "Nana, ayo masuk," suruhku.

            Nana tidak menggubris. Bocah lima tahun itu masih asyik bermain dengan Sabrina, nama boneka kesayangannya.

            Sekali lagi aku memberinya peringatan. "Nana, ayo masuk, hujan semakin deras. Bunda tidak mau kamu sakit seperti kemarin,"

           Aku hening.

            Tidak seperti biasa Nana bersikap seperti ini padaku. Aku takut, Nana kembali mengingat kejadian masa lalunya. Bersamaku, ya, masa lalunya bersamaku, seorang ibu yang malang ditinggal pergi suaminya untuk selama-lamanya.

            "Ayah ke mana, bunda?"

            Dugaanku terbukti. Pertanyaan singkat yang membuatku menyayat hati. Aku berusaha untuk tidak peduli, namun hanya jawaban dariku yang Nana nanti.

            Hujan di luar semakin deras, ditambah dengan gemuruh guntur yang semakin menggelegar di telinga. Anak sekecil Nana tampak tidak takut, ia hanya takut tidak memperoleh jawaban dariku. Ia takut tidak akan pernah bertemu dengan ayahnya lagi.

            Di tengah keheningan, aku melihat Nana dengan tatapan nanar.

            Aku sedikit bernostalgia dengan masa kecil. Aku ingat ketika masih berusia lima tahun, sama seperti Nana, aku sering bermain boneka. Bonekaku dulu bernama Benita. Bukan tanpa alasan, nama itu diberikan oleh ayahku sebagai pengganti ibuku yang telah meninggal ketika melahirkan aku. Benita adalah istri ayahku, nama ibuku.

            "Bunda!"

            Aku terperanjat, menghilang dari lamunanku. Aku sadar bahwa aku masih bersama dengan Nana, anakku.

            "Ehm.. ayahmu orang baik, dia akan segera kembali pulang ke rumah, Na" jawabku, "sekarang, ayo kita masuk lalu mandi,"

            Aku berbohong lagi. Tidak seharusnya aku berdusta pada anakku sendiri, sekalipun Nana adalah buah antara aku dan bajingan itu. Aku menyesal.

*****

            Pukul tujuh pagi, Nana minta untuk diantar ke sekolah. Maklum saja, jarak antara rumah ke sekolah sangat jauh. Kami harus melalui tiga dusun untuk bisa sampai ke sekolah Nana.

            Matahari terik. Genangan air tercipta akibat hujan deras semalam yang tidak kunjung usai hingga menjelang terbitnya matahari. Sisa hujan semalam menyisakan rintik-rintik air kecil yang membuat suasana pagi ini sedikit dingin. Embun-embun di dedaunan menyerbakkan aromanya, tenang dan sejuk rasanya.

            "Selamat pagi bu Manda," sapa salah seorang penduduk dusun.

            Aku hanya mengangguk sambil tersenyum.

            Di dusunku, aku dihargai sebagai seorang ibu. Namun, di beberapa dusun yang aku lalui, aku dikenal sebagai seorang janda beranak satu. Tidak tahu mana yang nyaman didengar oleh telinga, aku tidak peduli dengan anggapan orang-orang itu.

            Sepeda tua kukayuh dengan sekuat tenaga karena jalan yang menanjak. Aku masih ingat dulu ayah yang selalu mengantarkanku ke sekolah. Perjalanan dulu jauh lebih jauh, bukan karena jarak, melainkan medan yang harus ditempuh. Jalanan yang berlumpur setelah diguyur hujan menjadi tantangan bagiku dan ayahku. Sesekali aku harus turun dari sepeda hanya untuk membantu ayahku menuntun sepeda supaya tidak terjatuh ketika jalanan dipenuhi dengan lumpur tebal dan lengket. Maklum saja, dahulu belum ada aspal.

            Dalam perjalanan aku melamun. Teringat ayah.

*****

            "Dek Manda, sudah siap untuk berangkat sekolah?"

            Aku mengangguk. Segera aku mengambil tas dan berdiri di samping sepeda sebelum akhirnya ayah menggendongku untuk duduk di bangku belakang. Dalam perjalanan ayah selalu bercerita tentang ibuku. Katanya, ibuku orangnya ramah, suka menyapa dan baik kepada semua orang. Meskipun sejak lahir aku tidak pernah melihat wajahnya, namun setiap cerita tentangnya selalu membuatku merasa memiliki seorang ibu.

            "Dulu aku sama ibumu sering sekali melalui jalanan berlumpur seperti ini. Apalagi kalau hujan dari semalam awet hingga pagi menjelang, jalanan seperti ini jadi sebuah genangan lumpur," kata ayah girang, mungkin ia sedang mengenang kisahnya dengan ibuku. Tentu kisah yang mereka torehkan adalah kebahagiaan yang hanya bisa dibagikan kepadaku sekarang.

            Gerbang sekolah sudah dekat, teman-temanku sudah banyak berkumpul dan bermain di sana. Tidak seperti ayah-ayah lain, ayahku hanya mengantarkan sampai luar pintu gerbang. Dan aku tidak pernah merengek minta diantar hingga ke depan pintu kelasku.

            Sebelum menurunkanku dari bangku sepeda, ayah berpesan,"Dek Manda, sekolah yang rajin, nurut apa kata guru. Inget, guru itu digugu lan ditiru, jangan nakal sama teman sendiri,"

            Aku mengangguk.

            Perjalanan dari luar gerbang ke ruang kelas agak lumayan, sesekali aku menoleh ke belakang untuk melihat ayahku melambaikan tangannya. Bukan tanda perpisahan, namun sebagai isyarat bahwa ayahku selalu ada untuk menjagaku.

*****

            Pesan yang sama tidak pernah aku sampaikan kepada Nana, anakku.

Gerbang sekolah sudah terlihat, Nana tampak ceria ketika ia bertemu dengan teman-temannya. Kadang, tidak mau diantar sampai depan gerbang karena ingin berjalan bersama dengan teman-temannya. Kali ini ia memintaku untuk berhenti, lalu ia turun sendiri dan berlari ke arah teman-temannya. Kebiasaan itu membuatku tidak sempat memberikan nasehat, pesan yang ayahku sampaikan dulu.

            Aku berbalik, mengayuh sepeda pulang ke rumah.

*****

            Hari Minggu waktunya sekolah libur. Sering ayah mengajakku ke kebun teh di hari libur sekolah. Kebun teh yang dikelola ayahku bukanlah miliknya, melainkan milik Pak Kir, adik dari ibuku. Pak Kir orangnya baik, ramah kepada semua orang, sama seperti ibuku. Aku memanggilnya paman.

            "Selamat pagi, paman," sapaku ceria.  

            "Eh ada Amanda, bagaimana kabarnya?" balasnya.

            "Baik,"

            "Mana ayahmu?"

            Di tengah kebun teh ada sebuah pendopo kecil yang digunakan sebagai tempat singgah para pekerja pak Kir, termasuk ayahku. Ayahku sengaja menyuruhku ke pendopo karena ia tahu bahwa pak Kir sedang beristirahat. Sedangkan ayahku langsung berkeliling kebun untuk melihat apakah teh sudah bisa dipanen atau belum.

            "Ada di sana," kataku sambil menunjuk ke tempat ayahku sedang berjalan.

            "Kamu ini, persis ibumu,"

            Aku tersenyum.

            Selesai beristirahat, paman menyusul ayahku untuk ikut berkeliling. Ayahku tahu betul soal teh, ayah tahu teh mana yang sehat, sakit dan yang siap dipanen. Selain itu, ayah juga jeli merawat kebun teh milik paman. Kendati bukan miliknya, tapi rasa handarbeni terhadap kebun teh tetap ada dalam diri ayahku.

            Setiap berkeliling kebun, ayah selalu memberiku nasehat.

            "Apabila kita bisa menjaga dan merawat apa yang bukan milik kita, kita bisa menjaga sekaligus merawat apa yang akan kita miliki nanti," pesan ayah.

            Kata ayah, nasehat itu berasal dari ibuku.

*****

            Siang ini mulai mendung.

            Aku harus segera menjemput Nana. Kuambil jas hujan untuk berjaga-jaga barangkali hujan mengguyur dusun sebelum aku tiba di sekolah Nana. Aku mengayuh dengan sekuat tenaga untuk mempercepat lajuku karena matahari semakin tertutup awan mendung, tanda bahwa hujan akan segera turun.

            Gerbang sekolah Nana sudah nampak, sekolah Nana sudah dekat. Tepat di depan gerbang, hujan mengguyur begitu deras tiba-tiba. Aku segera mencari tempat teduh, sekaligus tempat untuk menunggu Nana keluar kelas.

            Dulu ayahku juga sering menungguku keluar kelas. Hanya saja ia selalu menunggu di luar gerbang sekolah sembari ngobrol dengan beberapa pedagang yang menjajakan makanan atau mainan di sana. Kalau hujan begini, ayahku menunggu di selasar Musholla yang ada di dalam kompleks sekolahku.

            "Ayah," aku bergumam lalu menyimpul senyum.

*****

            Dari dulu aku menghabiskan waktu banyak bersama dengan ayahku. Mulai dari perjalanan pulang atau pergi ke sekolah, berkeliling kebun teh hingga dongeng sebelum tidur. Sehari-hari aku hidup dan dibesarkan oleh ayahku. Meskipun kita hidup hanya berdua, namun setiap cerita tentang ibu membuatku merasa memiliki keluarga yang utuh. Ayahku, beliau berhasil membuat ibuku hadir di tengah-tengah kami. Selalu begitu.

            Dua puluh lima tahun aku tumbuh dan berkembang bersama dengan ayahku. Tidak sekalipun ayahku mengecewakan aku.

            Sampai pada akhirnya, aku membuatnya kecewa.

            "Manda, adalah kewajiban untuk ayah mengantarkanmu ke pelaminan. Namun, ayah rasa laki-laki itu bukan orang yang tepat," kata ayah.

            "Dia mencintai aku, ayah. Manda juga demikian,"

            Kami bertengkar hebat perihal Radit, calon suamiku kala itu. Radit adalah seorang putera saudagar yang terkaya di dusunku dulu. Ayahku kokoh dengan anggapannya bahwa menikah dengan anak seorang saudagar kaya bukanlah kebahagiaan.

            "Aku akan bahagia, ayah!" bentakku.

            "Baik, cukup. Jika keputusanmu sudah bulat, ayah setuju kamu hidup bersama Radit," ujarnya halus.

            Aku tertegun.

            Beberapa hari berselang, pernikahanku dengan Radit diadakan. Di dusunku, Radit menjadi seorang primadona bagi setiap perempuan. Wajar saja kalau perempuan lain iri melihatku menikah dengannya. Radit, pria yang gagah dengan kemeja pernikahan menunggu ayahku mengantarkanku ke panggung pelaminan.

            Saat itu pula, ayahku merelakanku untuk terlepas dengan pria yang kukira akan membuatku bahagia.

*****

            Seorang guru berhijab menghampiriku. Wajahnya pucat, nampak sedang khawatir.

            "Bu Manda?" tanya guru itu.

            "Iya, ada apa bu guru?"

            "Nana...."

            Aku panik, guru itu segera mengantarkanku ke klinik sekolah, tempat di mana Nana terbaring. Wajah Nana pucat, badannya panas dan lemas. Ia mendesah.

            "Nana kumat lagi," ujar bu Hayu, guru berhijab yang mengantarkanku kepada Nana.

            Aku hanya bisa diam. Bu Hayu mulai tenang.

            "Bu Manda, boleh kita berbicara sebentar di sebelah sana?" ia mengarahkanku agar menjauh dari ranjang. Sepertinya ia bermaksud supaya Nana tidak mendengar pembicaraanku dengannya.

            Bu Hayu adalah guru wali kelas Nana, selain itu beliau adalah ibu kedua bagi Nana. Hubungan kami dengan bu Hayu sangat dekat, wajar saja kalau beliau tahu bahwa Nana sedang kumat.

            "Tidak seperti biasanya, bu. Nana belakangan ini sering menyendiri, berbeda dengan Nana yang ceria," kata bu Hayu,"apakah bu Manda sedang menyembunyikan sesuatu dari Nana?" lanjutnya.

            Hujan di luar semakin deras.

            Aku berterus-terang, semenjak kepergian Radit, Nana tidak berhenti bertanya perihal keberadaan ayahnya. Saat di rumah, apalagi saat hujan, ia hanya bermain dengan Sabrina, boneka hadiah dari ayahnya saat Nana genap berusia lima tahun. Sama sepertiku, Nana sangat dekat dengan Radit, ayahnya. Lima bulan semenjak kepergian Radit, Nana terus bertanya kapan Radit akan pulang.

            "Nana berhak tahu," ujar bu Hayu.

            Ayahku sudah lama meninggal. Nana, bocah lima tahun yang selalu mengingatkanku betapa ayahku dulu sangat mencintaiku. Meskipun ayah membesarkanku seorang diri, namun ia mampu menghadirkan sosok ibu dalam hidupku melalui setiap nasehat yang tersemat. Berbeda denganku, aku tidak bisa menghadirkan sosok ayah kepada Nana. Radit sudah berkhianat, aku membencinya.

            Dalam hati, aku menyesal.

Bersambung .....

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun