"Ngak ada tapi-tapi, terlambat ya terlambat ngak usah pakai alasan apa-apa lagi. Kamu pulang sekarang tidur di rumah siapa suruh telat dasar anak malas!" Omelannya semakin melengking tak ada toleran.
"I.iya pak." Raka menyerah membalikkan badannya dan melangkah pergi dari gerbang sekolah itu dengan ekspresi murung dan putus asa, langkahnya tertatih-tatih, pikiran Raka kacau kepalanya pening penuh beban. Anak itu penuh ketakutan ia tidak ingin dikeluarkan dari sekolah karena kelalaiannya hari ini apalagi ia belum melunasi tunggakan biayanya, ia tentu tak ingin keluarga yang membesarkannya dengan penuh kasih sayang sedari kecil dan rela membanting tulang setengah mati membiayai kehidupan dan sekolahnya bertahun-tahun dibanjiri rasa kecewa.
Dalam pikirnya ia seolah tidak berguna ditakdirkan sebagai seorang anak laki-laki, bahkan anak satu-satunya dalam keluarga kecil itu, pikiran anak ini penuh memikul banyak beban yang tidak bisa ditafsirkan dalam sebuah kalimat yang terucap. Ia bahkan tak lelah berpikir "aku bisa apa?" tidak berguna tak bisa memberikan apa-apa hanya bisa menyusahkan mereka dan bergantung tanpa bisa memberi dan melakukan apa pun.
Langkahnya terhenti duduk menyenderkan tubuh yang peluh, lelah melamuni kehidupan yang amat rumit dikepalanya. Kebisingan lalu lalang kendaraan terasa hening di telinga Raka hingga ia melihat anak gelandangan yang tengah mengamen di sekitar jalanan kota, wajah anak itu seperti tidak asing baginya, wajahnya berkulit putih kusam agak berdebu, anak itu mungkin berusia 15 tahun, ia memiliki perawakan tinggi untuk anak seusianya, rambutnya keriting berkaus putih lusuh menguning kecokelatan tengah memainkan ukulele sembari menghampiri satu persatu pengendara yang takzim menunggu lampu hijau tiba.
Ya tidak salah lagi, Raka mengenal anak itu namanya adalah Rival, anak gelandangan yang biasa mampir ke kedai kecil rumahnya untuk meminta makan atau hanya sekadar beristirahat tidur di pelataran teras rumah Raka.
"Oy Rival!" Teriakan Raka melengking memanggil anak gelandangan itu.
Tangan yang sedang asik memainkan irama petikan ukulele hening seketika, anak itu menoleh ke belakang mencari asal suara yang memanggil-manggilnya di tengah kerumunan kendaraan, dia melihat Raka di seberang dan melambaikan tangan kanannya sebagai respon. Lampu merah tampak mulai menjadi kuning ia bergegas pergi naik ke median jalan dan menyeberang menghampiri Raka yang sedang duduk di kursi halte Bis seorang diri.
"Halo Bang Raka." Mereka berdua bersalaman akrab melakukan tos tangan ria bagaikan sahabat karib yang telah lama mengenal.
"Halo juga Ival, tumben banget ngamen biasanya kan lu cuman jinjing plastik bekas kemasan makanan ringan." Raka memperhatikan ukulele yang diselempangkan Rival di badannya, ukulele itu tampak seperti baru. Entah anak ini mendapatkan dari mana.
"Ngapain jinjing-jinjing benda itu kalau tidak ada yang bisa kita suguhkan, ya minimal naik kelaslah bang soalnya gelandangan juga butuh berkembang. Malu minta-minta kalau hanya memanfaatkan rasa kasihan orang lain tanpa kita memberi sesuatu yang bisa menghibur buat banyak orang, kalau kita memberi mereka hiburan mereka bahagia dan pasti senang padahal pikiran mereka riuh kayak suara-suara klakson motor dan mobil di jalanan." Tuturnya menjelaskan sembari tersenyum.
"Ya kalau soal suara si lu jago, pantas saja tidak ada yang risi sama suara lu. Tapi, itu ukulele lu dapat dari mana? Masih baru kayaknya." Tanyanya penuh penasaran.