Fall In You
Bab 1 : Si Miskin yang katanya tak pantas hidup.
Katanya, termasuk menzalimi diri sendiri ketika seseorang menetap di suatu tempat yang membuatnya tersakiti. Namun terkadang, opsi pergi terlihat tak lebih baik dari memilih tinggal. Sebagian orang bahkan tak memiliki pilihan untuk pergi sebab kenyataan memaksa untuk tetap menetap.
Aya menunduk, menatap sepatu putih lusuh yang dia kenakan, kemudian mendongak menatap pagar sekolah bercat hitam, lalu menunduk lagi. Jantungnya berdebar memikirkan hal apa lagi yang menunggunya hari ini. Kilasan tentang kejadian yang telah lalu membuat jantungnya berdebar.
"Nggak apa-apa, Aya. Jangan takut. Lo nggak salah." Aya mengepalkan tangan, mencoba menguatkan hati. Kakinya perlahan terayun memasuki lingkungan sekolah yang luas, melewati parkiran yang sudah terisi beberapa mobil serta motor mewah milik para siswa.
Aya bukan murid populer, tapi kini setiap pasang mata yang dia lewati menatap dirinya. Bukan tatap kagum, tetapi tatapan jijik dan permusuhan.
"Dia murid pindahan itu, 'kan? Yang anak beasiswa?"
"Cih, percuma dikasih beasiswa kalau attitude nggak ada. Pencuri."
"Uang kas dicuri. Malu-maluin."
"Kalau gue jadi dia, mending nggak usah sekolah sekalian."
Aya tak berani mengangkat wajah sepanjang perjalanan menuju kelasnya. Hatinya panas, tapi tak mampu melakukan apa-apa. Percuma juga klarifikasi jika ujung-ujungnya tak akan ada yang percaya.
Begitu membuka pintu kelas, Aya disambut dengan guyuran air bekas pel yang tumpah dari ember di atas pintu. Aya mematung sesaat. Begitu menyadari seluruh tubuhnya telah basah dan pakaian dalamnya tercetak dengan jelas di balik kemeja putihnya, emosinya langsung tersulut.
"Siapa?" Aya berseru murka. Tangannnya mengepal menatap seisi kelas yang menertawakannya.
"Gue. Kenapa emangnya?" Salah seorang teman kelas mengangkat tangannya dengan angkuh. Delia namanya. Cewek itu kini bersedekap dan menatap Aya seolah Aya adalah makhluk rendahan.
Aya melangkah cepat ke arah Delia. Begitu sampai di hadapan Delia, tangan Aya terayun keras lalu menyapa permukaan kulit wajah Delia hingga gadis itu menoleh secara paksa.
"Lo nampar gue!" Delia berseru dengan nyaring, nyaris berteriak. Seluruh wajahnya merah padam karena amarah. Delia berdiri dari kursi disusul beberapa orang sahabatnya yang lebih mirip antek-antek
"Iya, kenapa emangnya?" Delia seolah kebakaran jenggot mendengar jawaban Aya yang di-copy dari dirinya. Kedua tangan Delia meraih rambut Aya, menariknya sekuat yang dia bisa dan dibalas oleh Aya dengan hal serupa.
"Berani, ya, lo sekarang sama gue? Udah bosan sekolah?"
"Ngapain takut sama monster nggak bermoral kayak lo."
"Apa?!"
Pertarungan menjadi semakin sengit. Antek-antek Delia pun jadi turut andil mengambil bagian begitu bos mereka terlihat kesusahan.
"Dasar si miskin nggak tahu diri. Pencuri!"
"Gue emang miskin, tapi gue bukan pencuri. Gue bahkan takut makan satu rupiah pun yang bukan milik gue!" Aya mulai menendang ke segala arah. Tenaganya tentu tak sebanding dengan beberapa orang yang mengeroyoknya itu. Teman sekelasnya yang lain tak mau repot melerai atau memanggil guru. Sebagian dari mereka justru merekam kejadian itu sembari tertawa.
"Maling mana ada yang mau ngaku."
"Gue bilang gue bukan maling!" Teriakan Aya barusan membangunkan seseorang yang semula tidur di meja pojok kelas. Raka, cowok ganteng yang jadi idola para siswi satu sekolahan menatap sumber keributan. Alisnya berkerut. Matanya memicing menatap oknum-oknum yang telah mengganggu tidurnya.
Saat tatapannya tertuju pada kondisi pakaian Aya, Raka melepaskan jaket jeans yang dia kenakan. Raka menghampiri mereka. Melepaskan beberapa tangan dari rambut Aya lalu melempar jaketnya ke wajah Aya.
"Merusak pemandangan," ucapnya lalu keluar kelas.
Aya merasa malu dan terhina dengan perkataan Raka, tapi seseorang justru menganggap itu sebagai bentuk perhatian. Tangannya mengepal. Giginya bergemeletuk. Dia yang tak pernah ikut merisak Aya secara langsung kini meraih tangan Aya. Menariknya, membuat Aya terpaksa berlari nyaris terseret mengikutinya.
"Angel, mau lo bawa ke mana si miskin?!" Delia dan anteknya mengikuti dari belakang.
Angel berhenti dan melepaskan Aya begitu sampai dekat kolam renang yang sepi. Tatapannya dingin dan menusuk hingga membuat Aya berilusi bahwa kepalanya bisa saja berlubang karena tatapan itu.
"Lo seneng, 'kan dapet perhatian Raka?"
"Hah?" Aya benar-benar tak mengerti ke mana arah pembicaraan Angel.
"Nggak usah pura-pura bego. Lo seneng, 'kan dikasih jaket sama Raka?"
Aya melirik jaket yang dipegangnya, lalu menggeleng.
"Enggak."
"Nggak usah bohong!"
Suara kulit tangan Angel yang menyapa pipi kiri Aya terdengar nyaring, apalagi suasana sedang sepi dan hanya ada mereka berdua di tempat itu.
"Dasar miskin. Lo nggak pantas ada di sekolah ini." Angel mendorong Aya. Aya yang tak siap pun terjatuh ke kolam.
"Lo bahkan nggak pantas hidup," Angel berucap pelan sembari tersenyum miring. Dia meninggalkan kolam tak peduli Aya yang berusaha menggapai gapai sesuatu. Tangan Aya seolah melambai memita pertolongan yang jelas pertolongan itu tak akan datang dari Angel.
Delia dan anteknya yang sedari tadi bersembunyi di dekat pot bunga menghadang Angel.
"Bukannya itu keterlaluan? Dia bisa mati." Delia berucap dengan panik. Tatapannya bolak-balik berganti antara Angel dan Aya yang tenggelam.
"Tutup mulut lo dan pergi dari sini kalau nggak mau dicap tersangka." Angel pergi meninggalkan Delia dalam kebimbangan antara menyelamatkan atau membiarkan saja.
"Selametin aja. Gua jadi kasihan sama dia." Salah seorang teman Delia berceletuk. Delia yang semula ragu pun kini mantap hendak menolong Aya. Gadis itu mengangguk setuju.
"Tapi kayaknya kita telat. Dia udah mati," kata seseorang lagi.
Delia dan yang lain menoleh ke kolam, dan ternyata Aya sudah tidak bergerak lagi. Level paniknya bertambah, tapi akhirnya mereka memilih untuk pergi juga karena tak ingin dicap tersangka sebagaimana yang Angel katakan.
Sementara itu di dalam kolam, Aya sudah merasa di ambang batasnya. Aya merasa sekarat. Doa yang sempat dia ulang sebelum berangkat sekolah terngiang dalam benaknya.
"Bismillaahilladzii laa yadhurru ma'asmihii syaiun fil ardhi walaa fis samaai wahuwas samii'ul 'aliim. Dengan menyebut nama Allah, tidak ada yang berbahaya baik di bumi maupun di langit. Dan dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui."
Aya berharap Allah akan menolongnya, tapi jika pun dia harus mati Aya berharap tempatnya di sisi Allah adalah tempat yang baik. Aya sudah merasakan banyak kesakitan di dunia ini.
Tepat saat Aya benar-benar menutup mata, seseorang melompat ke kolam. Berenang menuju ke arah Aya, meraih gadis itu dan membawanya naik ke pinggir kolam.
"Kumohon jangan pergi. Jangan lagi." Lelaki itu menangis. Tangannya yang tremor berusaha menekan dada Aya, melakukan CPR. Kemudian sesekali memberi napas buatan. Namun, hasilnya nihil. Aya sama sekali tak memberi respon. Bibir gadis itu mulai membiru.
Lelaki itu tak ingin menyerah, dia melakukannya lagi dan lagi hingga seseorang menariknya menjauh.
"Dia udah nggak ada," katanya.
"Nggak mungkin. Aya nggak mungkin pergi. Enggak." Lelaki itu kembali melakukan CPR. Kali ini lebih bertenaga dibanding sebelumnya. Dia sangat berharap Aya kembali.
"Gue bilang dia udah nggak ada!"
"Bohong!"
"Periksa sendiri nadinya kalau nggak percaya."
"Freyaaa!" Lelaki itu berteriak frustrasi begitu tak mendapat detakan di pergelangan tangan maupun di leher Aya.
Satu-satunya orang yang menyaksikan turut merasa pilu, apalagi saat lelaki itu memeluk Aya dengan sayang sambil menangis. Yang jadi pertanyaan, siapa lelaki itu bagi Aya? Bukan kah gadis miskin itu tak punya teman sama sekali sejak pindah ke sini?
_____
Bersambung ....
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI