Aya melirik jaket yang dipegangnya, lalu menggeleng.
"Enggak."
"Nggak usah bohong!"
Suara kulit tangan Angel yang menyapa pipi kiri Aya terdengar nyaring, apalagi suasana sedang sepi dan hanya ada mereka berdua di tempat itu.
"Dasar miskin. Lo nggak pantas ada di sekolah ini." Angel mendorong Aya. Aya yang tak siap pun terjatuh ke kolam.
"Lo bahkan nggak pantas hidup," Angel berucap pelan sembari tersenyum miring. Dia meninggalkan kolam tak peduli Aya yang berusaha menggapai gapai sesuatu. Tangan Aya seolah melambai memita pertolongan yang jelas pertolongan itu tak akan datang dari Angel.
Delia dan anteknya yang sedari tadi bersembunyi di dekat pot bunga menghadang Angel.
"Bukannya itu keterlaluan? Dia bisa mati." Delia berucap dengan panik. Tatapannya bolak-balik berganti antara Angel dan Aya yang tenggelam.
"Tutup mulut lo dan pergi dari sini kalau nggak mau dicap tersangka." Angel pergi meninggalkan Delia dalam kebimbangan antara menyelamatkan atau membiarkan saja.
"Selametin aja. Gua jadi kasihan sama dia." Salah seorang teman Delia berceletuk. Delia yang semula ragu pun kini mantap hendak menolong Aya. Gadis itu mengangguk setuju.
"Tapi kayaknya kita telat. Dia udah mati," kata seseorang lagi.
Delia dan yang lain menoleh ke kolam, dan ternyata Aya sudah tidak bergerak lagi. Level paniknya bertambah, tapi akhirnya mereka memilih untuk pergi juga karena tak ingin dicap tersangka sebagaimana yang Angel katakan.
Sementara itu di dalam kolam, Aya sudah merasa di ambang batasnya. Aya merasa sekarat. Doa yang sempat dia ulang sebelum berangkat sekolah terngiang dalam benaknya.