Apakah publik cukup dengan angka pertumbuhan, atau sebenarnya merindukan sosok yang bicara jujur dan siap menanggung akibatnya? Di tengah kejenuhan pada jargon ekonomi yang tidak pernah menyentuh isi piring sehari-hari, muncullah sosok Purbaya Yudi Sadewa. Ia hadir dengan kalimat lugas yang membuat isu ekonomi lebih banyak dibicarakan secara terbuka.
Purbaya pernah berkata dengan jujur bahwa dirinya hanya menteri yang "kagetan". Dan, publik pun menyebutnya sebagai "angin segar". Gaya bicaranya sederhana dan apa adanya, sehingga membuat orang berhenti sejenak. Bukan karena sensasi, melainkan karena kalimatnya langsung menyinggung tanggung jawab kebijakan. Istilah Purbaya effect pun muncul di linimasa. Di balik istilah itu ada harapan sederhana, ekonomi tidak lagi sekadar angka di layar, melainkan pengalaman nyata yang terasa di rumah tangga masyarakat sehari-hari.
Fenomena Publik
Kita sudah lama tidak melihat pejabat yang memilih berbicara jujur dibanding sekadar menjaga posisi aman tanpa menyinggung persoalan nyata. Reaksi pun beragam. Ada yang menilai gaya Purbaya terlalu ceplas-ceplos. Ada pula yang merasa lega, karena akhirnya ada pejabat yang berbicara apa adanya. Perbedaan pendapat ini menunjukkan satu hal, yaitu masyarakat ingin perubahan yang benar-benar terasa. Bukan sekadar janji di jumpa pers, melainkan kebijakan yang dijalankan.
Inilah yang dirindukan publik. Kebijakan yang dirancang untuk masyarakat luas, bukan hanya untuk grafik pertumbuhan. Ekonomi tidak boleh berhenti di angka suku bunga atau laporan statistik, tetapi harus menyentuh pedagang kecil yang menimbang apakah hari ini ia perlu berutang lagi atau menutup lapaknya lebih cepat.
Sumitronomik dan Warisan Pemikiran
Sebelum membahas lebih jauh, penting untuk memahami apa yang dimaksud dengan Sumitronomik. Istilah ini berangkat dari pemikiran Prof. Sumitro Djojohadikusumo yang menekankan tiga pilar utama pembangunan ekonomi. Gagasan ini menjadi dasar penting dalam menilai arah kebijakan hari ini, terutama ketika publik menunggu terobosan baru dari pemerintah.
Tiga pilar Sumitronomik yang kerap disebut adalah pertumbuhan, stabilitas, dan pemerataan.
- Pertumbuhan menyatu dengan produktivitas, artinya pembangunan ekonomi didorong oleh peningkatan kapasitas nyata, bukan sekadar lonjakan sesaat.
- Stabilitas menjaga arah, maksudnya kebijakan fiskal dan moneter mampu memberikan kepastian bagi pelaku usaha dan rumah tangga, bukan sekadar menahan laju perubahan.
- Pemerataan mengantar manfaat ke bawah, yaitu hasil pembangunan sampai ke masyarakat kecil melalui akses pendidikan, kesehatan, dan kesempatan kerja.
Prof. Sumitro Djojohadikusumo, ekonom senior Indonesia sekaligus ayah Presiden Prabowo, mengenalkan gagasan ini sejak 1940-an. Kini warisan itu dimaknai kembali dalam konteks hari ini. Sumitronomik mengingatkan: pertumbuhan tanpa stabilitas akan rapuh, stabilitas tanpa pemerataan akan terasa kaku dan tidak menyentuh kehidupan rakyat, sementara pemerataan tanpa pertumbuhan akan sulit bertahan lama dan segera kehilangan dampaknya.
Kritik pada Model Ekonomi Lama
Selama bertahun-tahun, kata "stabil" sering dijadikan tujuan akhir. Stabil artinya aman di laporan, tapi belum tentu aman di rumah tangga masyarakat. Di satu sisi angka terlihat baik, di sisi lain daya beli dan kesempatan kerja stagnan.
Pertumbuhan pun dinilai tidak berkualitas. Kelas menengah baru tidak tumbuh seperti yang diharapkan. Penjualan barang bertahan lebih lama, seperti mobil dan rumah, tidak menunjukkan adanya peningkatan kelas menengah atau mobilitas sosial yang signifikan.
Negara tetangga seperti Vietnam dan Malaysia justru terus tumbuh, sementara kita masih terjebak di batas yang sama.