Mohon tunggu...
Mahar Prastowo
Mahar Prastowo Mohon Tunggu... Ghostwriter | PR | Paralegal

Praktisi Media dan co-PR -- Pewarta di berbagai medan sejak junior sekira 31 tahun lalu. Terlatih menulis secepat orang bicara. Sekarang AI ambil alih. Tak apa, bukankah teknologi memang untuk mempermudah? Quotes: "Mengubah Problem Menjadi Profit" https://muckrack.com/mahar-prastowo/articles

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

SMAN 62: Satu Bangku Kosong di Barisan Anak-anak yang Bertanya

27 September 2025   02:06 Diperbarui: 27 September 2025   13:21 317
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Surat tulisan tangan Farhan (foto:feepic)



Oleh:Mahar Prastowo

Di sebuah ruang kelas di SMAN 62 Jakarta Timur, ada satu bangku yang sejak akhir Agustus belum juga kembali dipakai. Bukan karena kursinya patah. Bukan karena catnya mengelupas. Bangku itu kosong karena pemiliknya, seorang anak kelas 12 bernama Farhan Indra Setiawan, kini sedang menatap jeruji dari balik kertas: ditahan oleh aparat setelah mengikuti unjuk rasa pada malam 29 Agustus lalu.

Kisahnya tiba-tiba menjadi viral bukan karena headline besar di televisi, melainkan karena sebuah surat - tulisan tangan di selembar kertas sobek - yang menyebar di media sosial. Dari balik goresan tinta itu, terdengar suara seorang anak yang takut dikeluarkan dari sekolah padahal belum pernah diadili. "Saya ingin segera bebas untuk melanjutkan pendidikan," begitu bunyi permohonannya. Surat sederhana itu menjadi kaca kecil tempat bangsa melihat wajah kegelisahan generasi muda.

Sekolah menanggapi dengan nada hati-hati, hampir seperti seorang dokter yang menenangkan keluarga pasien. Wakil Kepala SMAN 62 bidang kesiswaan, Syafrizal, mengatakan bahwa nama Farhan masih tercatat di Dapodik sekolah - artinya, secara administrasi ia tetap siswa aktif dan belum dikeluarkan. Pernyataan itu bukan retorika; ia melindungi harapan sederhana: agar seorang anak tetap boleh bermimpi dan melanjutkan sekolahnya.

Mengapa hal ini jadi penting? Karena satu masa hukum belum berkekuatan tetap - belum ada vonis - sedangkan konsekuensi sosial dan pendidikan seringkali sudah lebih cepat berjalan. Dari Rutan Polda Metro Jaya, Farhan menulis bahwa dia ditahan karena mengikuti aksi. Dari sekolah, kabar yang sampai adalah: guru-guru heran karena siswa itu tak masuk-masuk. Hanya Farhan yang ikut aksi, kata pihak sekolah. Dua dunia yang berbeda itu bertemu di titik paling rapuh: masa depan seorang anak.

Kalau Anda pembaca yang sering lewat depan sekolah, cobalah melongok dari pagar jika tak sempat masuk, Anda mungkin melihat hal yang sama: sepatu anak SMA berjejer, stiker kegiatan ekstra, secarik pengumuman. Sekolah adalah tempat berlatih hidup; bukan hanya rumus-rumus di buku pelajaran, tetapi juga bagaimana berhadapan dengan konflik, pertanyaan, dan kadang-kadang konflik dengan negara. Apakah sekolah mesti mengeluarkan murid yang sedang berhadapan dengan hukum sebelum putusan pengadilan? Pertanyaan itu tak cukup dijawab oleh aturan administrasi semata. Ia membutuhkan kebijakan yang melindungi hak pendidikan sambil tetap menghormati proses hukum. Banyak sekolah memilih jalan tengah; SMAN 62 memilih untuk memastikan catatan administratif tetap memungkinkan anak itu kembali belajar.

Di dunia yang lebih luas, drama seperti ini bukan sekadar tentang satu anak atau satu sekolah. Ia soal bagaimana masyarakat merawat warga mudanya ketika mereka memilih turun ke jalan. Ada yang melihat aksi sebagai proses pendidikan politik; ada pula yang melihatnya sebagai risiko yang harus dihindari.

Surat Farhan, yang menyentuh karena polosnya, menyodorkan pilihan moral itu kepada publik: apakah kita akan membuat seorang siswa menjadi masalah yang harus dikeluarkan, atau menangkap kesempatan mendidiknya?

Sekolah mengatakan mereka baru tahu kondisi lengkap ketika absensi tak lagi normal - ketika kursi itu kosong, ketika hari demi hari tak ada kabar pulang. Mereka bilang, mereka tidak serta-merta mengeluarkan siswa itu. Seluruh itu terdengar seperti napas panjang seorang kepala sekolah yang mencoba menjaga keseimbangan: antara menjaga nama baik institusi dan menjaga hak dasar anak untuk belajar. Di lapangan, guru-guru membisikkan kekhawatiran: bagaimana bila kabar buruk membuat anak putus sekolah, padahal masa depan matematikanya, sastranya, atau cita-citanya masih panjang?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun