Di tengah gemuruh politik yang selalu mencari arah, kata-kata kadang menjadi lebih tajam dari kenyataan itu sendiri. Menteri Hak Asasi Manusia, Natalius Pigai, dalam konferensi persnya di Jakarta, memilih berkata dengan nada yang seakan menimbang, tetapi juga menegaskan.
"Kalau pernyataan sepihak, enggak usah percaya," katanya. "Sepanjang tidak ada cover both side, enggak usah percaya."
Ia menanggapi ucapan Satryo Soemantri Brodjonegoro, mantan Menteri Pendidikan Tinggi dan Sains, yang menyebut Presiden Prabowo Subianto alergi terhadap demonstrasi.
"Demonstrasi itu parlemen jalanan," lanjut Pigai. "Ya boleh dong. Emang kenapa enggak boleh? Alergi? Kok alergi?"
Kata-katanya mengandung ironi yang pelik. Negara ini, dalam ingatan sejarahnya, pernah begitu asing dengan hak berdemonstrasi. Tetapi di saat yang sama, ada kepekaan yang selalu diuji: sejauh mana kekuasaan bisa menerima ketidaknyamanan?
Prabowo, seorang jenderal dengan sejarah yang panjang, kini berada dalam fase baru. Pemerintahannya baru seumur jagung. Namun, sejak hari pertama, demonstrasi telah mengiringinya. Dari mahasiswa yang menolak pemotongan anggaran pendidikan untuk program makan gratis, hingga aktivis yang masih mengingat lembar-lembar kelam dalam sejarah politiknya.
Pemerintah, kata Pigai, tidak akan melaporkan demonstran. Itu adalah hal biasa dalam demokrasi. "Ada enggak kami melaporkan satu orang saja? Kami enggak pernah, biasa aja."
Tetapi ada yang tetap terasa ganjil di sini. Di negara yang selalu belajar berdemokrasi, demonstrasi adalah nyawa dari sebuah kebebasan. Namun kebebasan juga bukan ruang hampa. Ia diuji di jalanan, di parlemen, di ruang-ruang media, dan di kebijakan-kebijakan yang pelan-pelan membentuk masa depan.
Di dalam percakapan ini, di antara kata-kata yang saling menegaskan dan membantah, kita menemukan kembali sebuah pertanyaan lama: Demokrasi, seberapa luas dan seberapa tahan ia terhadap suara-suara yang tak selalu menyenangkan?
-Mahar Prastowo-