Mohon tunggu...
Gitakara Ardhytama
Gitakara Ardhytama Mohon Tunggu... Penulis buku dan kolaborator media online.

Penulis buku Pejuang Kenangan (2017), Hipotimia (2021) dan Ruang Ambivalensi (2025). Pemimpin Redaksi CV. TataKata Grafika. Aktif menulis artikel dan essai di berbagai platform digital.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ironisme Pejabat Indonesia: Sering Potong Pita, Jarang Buka Halaman Buku

26 September 2025   11:16 Diperbarui: 26 September 2025   16:10 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Rak Buku (Sumber Foto: Pexels.com/Verda Yigit)

Pejabat publik di negeri ini sering kali dipotret sebagai sosok yang sangat sibuk. Rapat dari pagi hingga malam hari, agenda kunjungan ke daerah-daerah, tanda tangan berkas setumpuk, hingga memberikan pernyataan ke media-media. 

Jadwal mereka tampaknya begitu padat, bahkan konon katanya, sampai tak ada waktu untuk sekadar membaca buku. Kalau kita sedikit jeli dan mau agak kritis, bukankah itu bisa menjadi sebuah masalah? Ketika orang-orang yang memegang kuasa atas kesejahteraan hidup banyak orang mulai berhenti membaca. 

Mereka berhenti menambah wawasan, berhenti memperluas cakrawala, berhenti belajar dari sejarah. Mereka hanya sibuk menjadi mesin tanda tangan kebijakan tanpa fondasi pengetahuan yang kokoh.

Buku, dalam pengertian yang paling sederhana, adalah kumpulan pengetahuan, pengalaman, imajinasi, bahkan kegagalan manusia yang dirangkum dan diwariskan lintas zaman oleh penulisnya. 

Kalau ada pejabat kita yang malas membaca, maka dia sebenarnya sedang menolak kesempatan untuk belajar murah dari pengalaman orang lain. 

Padahal dalam setiap periode, biaya salah langkah seorang pejabat publik tidak pernah murah. Akibat dari kesalah langkahan mereka bisa jadi merupa APBN yang bocor tak terkendali, kebijakan yang salah sasaran, bahkan masa depan generasi muda yang digadaikan.

Pejabat yang Hanya Sibuk Bicara
Ada sebuah ungkapan klasik yang berkata "Talk is cheap, but it can be costly when it comes from the wrong person." Ungkapan itu mengajarkan kita bahwa bicara itu adalah sebuah pekerjaan yang mudah. 

Tapi ia akan sangat berdampak dan merugikan jika omongan itu keluar dari orang yang salah. Sayangnya, pejabat kita kerap terjebak pada godaan untuk bicara lebih banyak daripada berpikir atau membaca dahulu. 

Mikrofon membuat mereka 'kesurupan', seolah merasa perlu selalu punya jawaban instan. Padahal jawaban yang benar lahir dari pengetahuan hasil dari riwayat bacaan yang panjang.

Kita semua pasti belum lupa dengan pernyataan-pernyataan nyeleneh pejabat-pejabat kita yang absurd akhir-akhir ini. Entah soal harga cabai bisa diturunkan dengan menanam sendiri di rumah, atau soal rakyat yang miskin karena katanya malas berusaha. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun