Mohon tunggu...
Gitakara Ardhytama
Gitakara Ardhytama Mohon Tunggu... Penulis buku dan kolaborator media online.

Penulis buku Pejuang Kenangan (2017), Hipotimia (2021) dan Ruang Ambivalensi (2025). Pemimpin Redaksi CV. TataKata Grafika. Aktif menulis artikel dan essai di berbagai platform digital.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Ironisme Pejabat Indonesia: Sering Potong Pita, Jarang Buka Halaman Buku

26 September 2025   11:16 Diperbarui: 26 September 2025   16:10 342
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Rak Buku (Sumber Foto: Pexels.com/Verda Yigit)

Ucapan-ucapan seperti ini jelas lahir bukan dari hasil riset yang mendalam, apalagi dari hasil membaca yang intensif, melainkan tak lebih dari sebuah kecongkakan akan posisinya yang mana merasa lebih tinggi daripada orang lain. 

Bayangkan jika pejabat-pejabat itu menyempatkan diri membaca buku tentang ekonomi kerakyatan, atau kajian sosiologi tentang kemiskinan struktural. Barangkali ia akan lebih berhati-hati, lebih rendah hati, dan lebih solutif dalam berbicara.

Membaca bukan sekadar aktivitas intelektual; bukan pula sebuah aktivitas yang ekslusif yang hanya bisa dilakukan oleh bangsawan atau bahkan kegiatan inferior yang hanya boleh dilakukan oleh orang-orang yang masih bodoh. Tidak. Membaca adalah ibarat sebuah rem dalam sebuah kendaraan. 

Tanpa bacaan, para pejabat ini akan melaju kencang dengan egonya, tanpa pernah menengok kiri-kanan untuk melihat siapa saja yang ia tabrak dan tinggalkan selama ini. Justru perasaan 'sudah pintar, tak perlu membaca' itu keliru. Bukankah kita makhluk hidup yang terus belajar agar terus dapat relevan dengan jaman?

Mengasah Empati, Bukan Sekadar Statistik Palsu
Kebijakan publik seringkali jatuh ke dalam jebakan angka-angka statistika. Persentase kemiskinan, target inflasi, capaian pembangunan. Semua harus terlihat rapi dan indah interpretasinya di atas kertas. 

Namun di balik angka-angka itu ada wajah, ada keluarga, ada manusia yang mungkin akan terdampak dengan sembrononya pengambilan keputusan dari hasil statistika-statistika palsu itu. Dan sering kali, pejabat kita gagal melihat sisi itu.

Di sinilah peran buku-buku sastra tak tergantikan. Membaca novel tentang kehidupan buruh migran, misalnya, bisa membuat pejabat paham bahwa TKI bukan sekadar devisa negara, melainkan manusia dengan rindu yang tertahan dan luka yang tak tersampaikan. 

Membaca puisi tentang petani yang kalah oleh keserakahan tengkulak bisa membuka mata, bahwa pembangunan tak melulu soal infrastruktur besar, tapi juga soal kesejahteraan orang-orang kecil.

Pejabat yang membaca sastra-sastra seperti itu mungkin akan lebih empatik dibandingkan mereka yang tidak membaca apapun sama sekali. Mereka akan mengerti bahwa tugasnya bukan sekadar menekan angka kemiskinan, tapi juga memanusiakan rakyat yang diwakilkannya. Statistik bisa dipoles, tapi air mata rakyat sulit dipalsukan.

Belajar dari Sejarah Mencegah Redudansi Kesalahan Masa Lalu
Sejarah penuh dengan pelajaran-pelajaran mahal. Ada kisah kejayaan kerajaan yang runtuh karena korupsi penasihat-penasihatnya, ada kisah negara yang gagal karena salah urus sejak dari pendirinya, ada tokoh besar yang jatuh karena ketamakannya. 

Semua itu sudah tercatat rapi dalam buku-buku sejarah. Namun mengapa kesalahan yang sama terus berulang di negeri ini?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun