Bersama Pegadaian MengEMASkan Indonesia: Dari Gram Pertama hingga Cerita yang Tak Hilang Lagi
Beberapa bulan lalu, pesan itu masuk ke ponsel saya sepulang jam kerja, sekitar pukul lima sore. Pengirimnya adalah seorang pekerja migran asal Kota Tangerang Selatan, yang saat ini bekerja di Taiwan. Kalimatnya pendek, tapi menghantam dada saya:
"Pak... uang saya semua habis. Rp150 juta. Gara-gara ibu saya tidak sengaja klik link di ponsel, dan dalam hitungan menit, semua saldo tabungan saya lenyap..."
Bagi sebagian orang, angka itu sekadar nominal. Tetapi bagi pekerja migran, itu adalah hasil keringat bertahun-tahun, buah dari kerja keras menahan rindu pada keluarga, melewati musim panas dan dingin di negeri orang. Semua itu demi satu tujuan: membangun masa depan keluarga di kampung halaman.
Saya yang mendengar kisah ini ikut tercekat. Betapa rentannya jerih payah bertahun-tahun ketika hanya disimpan dalam bentuk saldo rekening biasa. Sekali terkena modus penipuan digital, semua bisa lenyap seperti embun pagi.
Pekerja ini saya kenal sejak sebelum keberangkatannya. Saat itu, saya bertugas sebagai ASN di Dinas Tenaga Kerja Kota Tangerang Selatan, mengurusi penempatan tenaga kerja dalam negeri dan luar negeri. Dalam pertemuan awal bersama perusahaan penempatan yang mengirimkannya ke Taiwan, saya sempat berbicara tentang pentingnya pengelolaan keuangan. Namun, edukasi pada saat itu belum sekuat dan seintensif sekarang.
Saya menyarankan padanya agar menyimpan hasil kerja di instrumen yang aman dan minim risiko, salah satunya Tabungan Emas Pegadaian. Risikonya kecil, nilainya relatif stabil, dan bisa dicairkan kapan saja saat dibutuhkan. Tapi ia masih menunda. Kini, setelah kejadian itu, ia menyadari bahwa uang hasil bekerja sebagai caregiver / caretaker menjaga orang tua lanjut usia di Taiwan harus "direset ulang" dan dikelola dengan cara yang lebih aman.
Pekerja Migran: Aset Bangsa dan Duta Devisa
Pekerja migran bukan hanya tenaga kerja di luar negeri. Mereka adalah duta bangsa yang menyumbang devisa miliaran dolar setiap tahunnya. Data Bank Indonesia mencatat remitansi pekerja migran Indonesia mencapai lebih dari Rp120 triliun per tahun.
Baik bekerja di sektor formal maupun nonformal, tujuan mereka sama: mengubah nasib. Sebagian ingin memutus rantai kemiskinan, sebagian lagi ingin membangun rumah, menyekolahkan anak, atau membuka usaha di kampung halaman.
Sayangnya, perjalanan itu penuh risiko. Salah satunya adalah rendahnya literasi keuangan dan digital. Data Survei Indeks Literasi Digital 2023 dari Kementerian Kominfo dan Katadata Insight Center menunjukkan skor literasi digital Indonesia masih di angka 3,54 dari 5. Artinya, masih banyak celah yang bisa dimanfaatkan pelaku kejahatan siber.
Data dari Kompas Insight Center (2024) menyebutkan bahwa sekitar 63% masyarakat Indonesia masih menghadapi tantangan dalam mengenali konten digital yang benar dan aman. Hal ini menunjukkan bahwa literasi digital belum merata dan menjadi celah bagi kejahatan siber yang kerap menargetkan kelompok rentan seperti pekerja migran.
Khusus untuk pekerja migran, risiko ini berlipat. Mereka harus mengatur keuangan dari jauh, mempercayakan akses rekening pada keluarga di rumah, dan seringkali tidak terbiasa menggunakan fitur keamanan perbankan.
Peran Pemerintah Daerah dalam Melindungi Pekerja Migran