Teladan Psiko-Sosial dan Antro-Politik Bung Karno, Tan Malaka, Bung Hatta, dan Pemimpin Dunia bagi Pejabat Masa Kini
Â
"Aku lebih suka menghabiskan uang untuk membeli buku daripada pakaian." (Mohammad Hatta)
"Seorang revolusioner harus membaca seperti ia bernapas." (Tan Malaka)
"Bangsa yang besar adalah bangsa yang membaca." (Soekarno)
Kalimat-kalimat di atas bukan sekadar retorika. Mereka adalah jejak jiwa dari pemimpin-pemimpin yang membangun bangsa dari perpustakaan, bukan hanya dari podium. Di tengah kekhawatiran publik terhadap pejabat yang lebih gemar pamer mobil mewah daripada rak buku, teladan Bung Karno, Tan Malaka, Bung Hatta, serta pemimpin dunia seperti Nelson Mandela, Mahatma Gandhi, dan Angela Merkel mengingatkan kita pada satu kebenaran mendasar: kepemimpinan yang berakar pada bacaan adalah kepemimpinan yang lestari.
Artikel ini mengupas secara psiko-sosial dan antro-politik mengapa kebiasaan membaca para pemimpin masa lalu bukan hanya soal intelektualisme pribadi, melainkan strategi politik, alat emansipasi sosial, dan fondasi moral bagi kekuasaan yang berpihak pada rakyat.
Psiko-Sosial: Membaca sebagai Pembentuk Jiwa Pemimpin yang Empatik dan Visioner
Di tengah kompleksitas tantangan bangsa dan dunia, pemimpin yang mampu memahami dan meresapi keberagaman serta memiliki visi jangka panjang menjadi sangat penting. Salah satu faktor utama yang dapat membentuk kualitas tersebut adalah kebiasaan membaca. Melalui membaca, pemimpin tidak hanya memperoleh ilmu pengetahuan, tetapi juga melatih empati, daya kreativitas, dan kemampuan berpikir kritis. Sejarah menunjukkan bahwa banyak tokoh besar yang keberhasilannya didukung oleh kebiasaan membaca yang konsisten dan mendalam, sehingga mampu menginspirasi dan memimpin dengan hati dan visi yang jelas. Mari kita belajar pada tiga Bapa Bangsa berikut:
Pertama, Bung Karno: Dari Buku ke Orasi, dari Orasi ke Bangsa.
Sejak muda, Bung Karno menunjukkan kecintaan yang mendalam terhadap buku dan pengetahuan. Ia terkenal sebagai pembaca yang rakus. Kebiasaannya membaca berbagai karya dari tokoh-tokoh dunia seperti Marx, Sun Yat-sen, Gandhi, hingga Plato, tidak sekadar menambah wawasan, tetapi juga membentuk pola pikirnya yang inovatif. Dari proses menyerap dan mensintesis berbagai ide tersebut, lahirlah Pancasila di bawah pohon Sukun semasa pembuangannya di Ende. Berkat bacaan-bacaan di perpustakaan para Pastor SVD, Bung Karno di kemudian hari merumuskan sebuah ideologi yang mencerminkan keberagaman dan toleransi bangsa Indonesia.