Halaman sekolah SMPN 31 Bandar Lampung siang (24/09) itu tampak lebih ramai dari biasanya. Suara riuh tawa siswa bercampur dengan ketekunan mereka yang sedang menggoreskan kuas ke permukaan caping bambu.
Di bawah rindangnya pepohonan, guru duduk berbaur bersama murid, melukis dan mewarnai caping dengan motif beragam.
Ada yang memilih corak bunga berwarna merah mencolok, ada pula yang menggambar gunung biru dengan latar langit cerah. Di antara mereka, tampak pula guru pendamping sesekali memberi arahan. Tidak ada jarak antara guru dan siswa; semuanya larut dalam satu tujuan: menyiapkan taman literasi.
Literasi sebagai Ruang Hidup
Taman literasi bukan sekadar ruang yang dihiasi buku. Ia adalah wujud nyata dari sebuah gagasan: literasi harus hidup di tengah siswa, menjadi bagian dari keseharian, dan tidak terjebak pada konsep kaku membaca serta menulis semata.
“Kalau tempatnya menarik, siswa akan betah membaca. Kami ingin mereka datang ke taman literasi bukan karena disuruh, tetapi karena merasa nyaman,” ujar Tiara, seorang guru BK yang turut serta dalam kegiatan tersebut.
Kenyamanan itu dihadirkan dengan cara sederhana: menghadirkan ornamen seni dari tangan siswa sendiri. Caping bambu yang biasa digunakan petani di sawah kini dialihfungsikan menjadi kanvas kreativitas. Dengan cat warna-warni, caping-caping itu dihidupkan kembali menjadi karya unik yang kelak akan menghiasi taman literasi.
Melatih Kreativitas dan Kolaborasi
Kegiatan melukis caping ini juga menjadi ruang pembelajaran alternatif. Para siswa belajar banyak hal tanpa harus duduk di bangku kelas. Mereka belajar memilih warna, menyusun pola, menyesuaikan komposisi, hingga bekerja sama dengan teman sebaya.