Ketika Guru Harus Jualan Kelapa Parut demi Bertahan Hidup
Sebuah Perjalanan dari Kapur Papan Tulis ke Dunia Usaha
Profesi guru memang mulia. Menjadi guru berarti menjadi bagian dari perjalanan hidup murid.murid kita, ikut membentuk masa depan mereka, dan menyalakan lentera pengetahuan di tengah kegelapan. Tetapi kemuliaan itu sering kali berhadapan dengan kenyataan pahit
Yakni gaji yang diterima tidak selalu sebanding dengan pengorbanan dan tanggung jawabnya.
Saya sendiri pernah merasakannya. Saat itu, gaji saya sebagai guru tetap hanya Rp16.000 per bulan, ditambah tunjangan in natura berupa 9 kilogram beras. Jika dihitung.hitung, jumlah itu hanya cukup untuk menyambung hidup sekitar dua minggu. Lalu bagaimana dengan sisa hari dalam sebulan?
Di titik itulah saya dan istri berjuang sekuat tenaga. Kami tidak bisa hanya bersandar pada gaji bulanan. Maka, dengan penuh kerendahan hati, kami pun berjualan kelapa parut. Setiap dini hari, sebelum ayam jantan berkokok, kami sudah bangun. Saya mengupas, memarut, dan mengantarkan kelapa ke pasar, sementara istri tetap setia membantu mengatur kebutuhan rumah tangga sekaligus mengajar di sekolah Kalam Kudus dan SMP Murni sebagai guru eksakta.
Jujur saja, itu masa.masa yang sangat berat. Kami sering kali kelelahan, bahkan terkadang merasa putus asa. Namun, di balik semua itu, ada tekad yang tidak bisa digoyahkan: anak-anak kami harus punya masa depan lebih baik daripada kami.
Saya sempat merenung panjang: Apakah saya akan bertahan menjadi guru seumur hidup dengan penghasilan yang pas-pasan, sementara kebutuhan keluarga terus meningkat? Pertanyaan itu menghantui hari-hari saya.
Akhirnya, dengan segala pertimbangan, saya memberanikan diri untuk alih profesi menjadi seorang pengusaha.Â
Keputusan ini bukan perkara mudah. Menjadi pengusaha berarti masuk ke dunia penuh tantangan, risiko, bahkan kegagalan. Namun, saya percaya satu hal: jika hanya berani berjalan di jalan yang aman, kita tidak akan pernah sampai pada tujuan besar dalam hidup.