Nada Sumbang di Malam Perjanjian
Jakarta, 26 Juli 2015, Pukul 21:11 WIB
Langit Jakarta malam itu kelabu, diselimuti kabut asap dari lalu lintas yang tak pernah reda. Di lantai 20 sebuah gedung kaca di kawasan SCBD, sebuah ruang rapat disinari lampu neon dingin. Di dalamnya, tiga sosok duduk dalam ketegangan yang tak terucapkan: Maya, kepala HRD berusia 35 tahun dengan rambut disanggul rapi; Doni, manajer divisi teknologi yang tak pernah lepas dari laptopnya; dan Arga, pencari kerja berusia 27 tahun, keningnya basah oleh keringat meski AC berdengung kencang.
Malam itu adalah wawancara terakhir untuk posisi lead developer di PT Teknologi Nusantara, sebuah perusahaan startup yang sedang naik daun. Namun, suasana tidak biasa. Maya dan Doni menggelar wawancara mendadak, di luar jam kerja, dengan alasan samar: "Kami butuh seseorang yang benar-benar spesial."
Arga, yang telah melewati tiga tahap seleksi, merasa ada sesuatu yang tersembunyi di balik tatapan tajam mereka.
"Jadi, Arga," Maya membuka, suaranya tenang namun bernada otoritas, "apa yang membuatmu berbeda dari kandidat lain?"
Arga menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. "Saya punya pengalaman membangun sistem keamanan data dari nol. Proyek terakhir saya di sebuah perusahaan fintech meningkatkan efisiensi transaksi hingga 40%."
Doni, yang selama ini hanya mengetik di laptopnya, mendongak. "Keren. Tapi, bisakah kamu menangani tekanan? Proyek ini... bukan sembarang proyek. Kami butuh seseorang yang bisa menjaga rahasia."
Arga mengerutkan kening. "Rahasia? Maksudnya?"
Maya dan Doni saling berpandangan, seolah berbicara tanpa suara. "Kamu akan tahu kalau diterima," jawab Maya singkat.