Jeritan Hati di Balik Lagu 'Ibu Pertiwi'
"Ketika suara rakyat terbungkam, musik menjadi bahasa yang tak bisa dibungkam."
Oleh Karnita
Pendahuluan
Apakah musik bisa menjadi bahasa protes sekaligus doa? Peristiwa Kamis, 28 Agustus 2025, yang diberitakan Republika dengan judul “Duka dan Amarah Usai Demo: Lagu 'Ibu Pertiwi' Jadi Jeritan Hati Warganet” membuktikan jawabannya. Seorang pengemudi ojol bernama Affan Kurniawan (21 tahun) meregang nyawa usai dilindas kendaraan taktis Brimob, sebuah tragedi yang menyisakan luka kolektif.
Suasana duka bercampur amarah itu segera menyeruak ke ruang digital. Media sosial dibanjiri unggahan warganet yang menyertakan lagu-lagu sarat makna, dari “Ibu Pertiwi” hingga “Gugatan Rakyat Semesta” karya .Feast. Fenomena ini menunjukkan bagaimana musik menjelma sebagai ruang simbolik untuk merespons kekerasan negara terhadap rakyatnya.
Sebagai penulis, saya tertarik mengulas fenomena ini bukan hanya karena urgensinya yang aktual, melainkan juga relevansinya dengan kondisi bangsa yang tengah diuji. Lagu “Ibu Pertiwi” yang biasanya dinyanyikan di sekolah dan upacara kenegaraan, kini menjadi semacam ratapan kolektif. Sementara “Gugatan Rakyat Semesta” hadir sebagai penegas amarah rakyat yang tak lagi bisa ditahan.
1. “Ibu Pertiwi”: Ratapan yang Menjadi Simbol Duka
Lagu “Ibu Pertiwi” kerap kita dengar dalam suasana nasionalisme yang khidmat. Namun, dalam tragedi ini, lirik “Ku lihat ibu pertiwi, sedang bersusah hati, air matanya berlinang” seakan menggemakan kesedihan Indonesia hari ini. Simbol ibu yang berduka menjelma menjadi potret rakyat kecil yang kehilangan.
Di media sosial, musik ini menjadi latar bagi unggahan foto dan video aksi yang berakhir tragis. Keheningan lagu justru memperkuat jeritan hati warganet yang tak bisa diluapkan dengan kata-kata. Dengan begitu, “Ibu Pertiwi” bertransformasi dari lagu kebangsaan sentimental menjadi simbol duka kolektif.