Pahlawan Tanpa Mahkota
Di sebuah sudut kampung kecil di tepi Sungai Code, terdengar tawa anak-anak yang berlarian di bawah naungan pohon kenanga. Matahari sore itu mulai condong ke barat, memancarkan cahaya keemasan yang melingkupi deretan rumah-rumah panggung sederhana. Di tengah keriuhan itu, seorang pria berbaju putih dengan celana hitam duduk bersila di atas tikar bambu. Wajahnya teduh, namun sorot matanya mengandung keteguhan yang tidak biasa. Itulah Romo Mangunwijaya - seorang imam Katolik, arsitek, penulis, dan pejuang kemanusiaan yang bagi banyak orang adalah pahlawan tanpa mahkota.
Namun, bukan senjata atau medali yang membuatnya layak disebut pahlawan. Ia adalah sosok yang hadir di tengah mereka, bukan sebagai pelindung dari jauh, tetapi sebagai sahabat, rekan hidup, dan bahkan sesama penghuni kampung. Inilah kisah tentang bagaimana ia menemukan makna sejati dari kata "pahlawan."
***
Romo Mangunwijaya lahir pada tahun 1929 di Ambarawa, Jawa Tengah. Sejak muda, ia telah menunjukkan bakat luar biasa dalam seni dan teknik. Setelah menyelesaikan pendidikan seminari, ia dikirim ke Jerman untuk belajar arsitektur. Di sana, ia tidak hanya belajar merancang bangunan indah, tetapi juga mendalami filosofi bahwa setiap struktur harus memiliki jiwa; jiwa yang memberikan arti bagi manusia yang tinggal di dalamnya.
Namun, perjalanan spiritualnya tidak berhenti di sana. Saat kembali ke Indonesia, ia menyadari bahwa bangsa ini bukan hanya butuh gedung-gedung megah, tetapi juga hati-hati yang besar. Ia melihat betapa banyak rakyat kecil hidup di pinggiran sungai, di bawah ancaman banjir, dan rentan terhadap kemiskinan. Hati kecilnya berkata: Aku harus ada bersama mereka.
Pada tahun 1980-an, Romo Mangun memutuskan untuk meninggalkan zona nyamannya sebagai akademisi dan imam. Ia pindah ke Kampung Code, Yogyakarta, salah satu permukiman kumuh, -sebuah kampung campuran orang dari aneka latar belakang- di tepi sungai yang sering dilanda banjir. Awalnya, warga curiga. "Kenapa seorang romo mau tinggal di sini?" gumam seorang ibu penjual sayur. Namun, Romo Mangun tidak peduli. Ia datang dengan satu tujuan: membantu mereka membangun rumah yang lebih baik, yang layak huni, membantu mereka saling ada sebagai makhluk sosial yang punya tetangga, yang punya tenggang rasa dan tepo saliro.
***
Hari pertama di Kampung Code, Romo Mangun tidak langsung "menggusur" warga atau memerintahkan pembangunan massal. Ia malah duduk di bawah pohon kecil, mendengarkan cerita-cerita para warga. Ada Pak Slamet, nelayan yang hampir kehilangan seluruh hasil tangkapannya akibat banjir. Ada Bu Siti, ibu tunggal yang bekerja keras menjahit demi menyekolahkan anaknya. Ada juga Ani, gadis cilik yang bermimpi menjadi dokter, meskipun kakinya lumpuh akibat polio. Ada Joko seorang pemulung yang kesulitan mendapatkan rosokan karena ada tulisan di gang-gang masuk, "pemulung dilarang masuk".
Dari percakapan-percakapan itu, Romo Mangun mengerti bahwa solusi bukanlah sekadar fisik, tetapi juga mental dan sosial. Ia mulai merancang rumah-rumah panggung sederhana yang tahan banjir. Dengan menggunakan bahan lokal seperti bambu dan kayu, ia mengajarkan warga cara membangun rumah mereka sendiri. "Kita tidak bisa bergantung pada orang lain," katanya suatu hari. "Kita harus belajar mandiri."
Tapi, Romo Mangun tidak hanya mengajarkan teknik membangun. Ia juga menginspirasi warga untuk saling membantu. Setiap Sabtu pagi, ia mengumpulkan semua orang untuk gotong-royong membersihkan lingkungan. Awalnya, beberapa warga ragu. "Apakah ini akan berhasil?" tanya seorang pemuda. Namun, Romo Mangun tersenyum dan berkata, "Kalau kita tidak mencoba, kita tidak akan pernah tahu."
Perlahan tapi pasti, Kampung Code berubah. Rumah-rumah yang dulunya rapuh kini kokoh berdiri. Sungai yang dulunya kotor kini lebih bersih. Dan yang paling penting, warga Kampung Code merasa memiliki tempat tinggal mereka sendiri. Bukan karena uang atau bantuan pemerintah, tetapi karena usaha bersama.
***
Meski banyak orang memujinya sebagai pahlawan, Romo Mangunwijaya selalu menolak gelar tersebut. "Saya hanya melakukan apa yang seharusnya dilakukan," katanya suatu hari kepada seorang wartawan. Baginya, menjadi pahlawan bukan tentang popularitas atau pengakuan. Ia percaya bahwa seorang pahlawan adalah orang yang rela melebur diri demi kebaikan orang lain.
Salah satu momen paling berkesan adalah ketika ia berhasil menyelamatkan Kampung Code dari rencana penggusuran oleh pemerintah daerah. Ketika warga panik dan takut kehilangan tempat tinggal mereka, Romo Mangun mengajak mereka berdialog dengan pemimpin daerah. Ia tidak marah atau berteriak; ia hanya mendengarkan dan berbicara dengan bijaksana. Hasilnya? Pemerintah setuju untuk memperbaiki infrastruktur Kampung Code alih-alih menggusurnya.
Namun, kesuksesan ini tidak membuat Romo Mangun sombong. Ia tetap hidup sederhana, memakai baju lusuh, dan tidur di gubuk kecil di tengah kampung. Baginya, kebahagiaan bukan soal materi, melainkan soal hubungan dengan sesama manusia. "Jika kita bisa membuat orang lain tersenyum, itulah kekayaan sejati," katanya.
***
Kini, puluhan tahun setelah Romo Mangun meninggal dunia pada tahun 1999, jejaknya masih terasa. Kampung Code yang dulu kumuh kini menjadi model permukiman berkelanjutan. Anak-anak muda di sana terus melanjutkan semangat gotong-royong yang diajarkan Romo Mangun. Bahkan, banyak orang dari luar negeri datang untuk belajar tentang konsep arsitektur partisipatif yang ia perkenalkan.
Namun, warisan terbesarnya bukanlah bangunan atau teknik. Melainkan nilai-nilai kemanusiaan yang ia tanamkan: empati, kesetaraan, dan solidaritas. Ia adalah pahlawan tanpa heroisme, pahlawan tanpa mahkota, tetapi justru itulah yang membuatnya begitu istimewa.
Seorang anak kecil bernama Andi, cucu dari Bu Siti, pernah bertanya kepada ibunya, "Kenapa semua orang bilang Romo Mangun itu pahlawan?"
Ibunya tersenyum dan menjawab, "Karena ia tidak hanya bicara tentang cinta, tetapi juga hidup dengan cinta, ia ada dan hidup bersama kita karena cinta."
Dan di sanalah jawaban sebenarnya. Romo Mangunwijaya layak disebut pahlawan, bukan karena prestasi gemilang atau keberanian spektakuler, tetapi karena ia adalah manusia yang sepenuhnya hadir bagi sesamanya.
Kehadirannya adalah teladan. Teladan tentang cinta. Teladan tentang pemimpin yang berada di depan, tengah dan belakang dengan dan oleh cinta, seperti motto Ki Hajar Dewantara: "Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani."Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI