Mohon tunggu...
Alfian Misran
Alfian Misran Mohon Tunggu... Dosen, Akuntan, dan Penulis

Pemerhati Audit, Ekonomi-Bisnis dan Keuangan

Selanjutnya

Tutup

Financial

Pertumbuhan Ekonomi, Kue yang Membesar, Tapi Siapa yang Makan?

10 September 2025   05:00 Diperbarui: 9 September 2025   13:53 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indonesia baru saja memamerkan rapor ekonomi kuartal II 2025: PDB tumbuh 5,12%, inflasi jinak di 2,31%, dan Bank Indonesia bahkan sudah memangkas suku bunga jadi 5,0% untuk memacu investasi dan konsumsi. Angkanya tampak menggembirakan. Di atas kertas, semua terlihat baik-baik saja.

Lalu datang pernyataan Menteri Keuangan baru, Purbaya Yudhi Sadewa, yang mengundang diskusi panjang: "Kalau ekonomi dapat tumbuh 6 sampai 7 persen, rakyat bakal sibuk cari kerja, belanja, dan bahagia. Tuntutan-tuntutan demo itu akan hilang sendiri."

Kedengarannya optimistis, bahkan menggoda. Tapi pertanyaannya: apakah pertumbuhan tinggi otomatis membuat rakyat sejahtera?

Jawaban sederhananya: TIDAK.

Pertumbuhan versus Kesejahteraan: Dua Dunia yang Tak Selalu Bertemu

Mari kita bicara angka. Rasio Gini Indonesia per Maret 2025 berada di 0,375, sedikit membaik dari 0,381 di September 2024. Artinya, kesenjangan memang turun, tapi belum hilang. 20% kelompok terkaya masih menguasai hampir setengah konsumsi nasional, sementara 40% kelompok termiskin cuma kebagian 17%.

Pertumbuhan 5% hari ini, bahkan 7% sekalipun, tidak otomatis mengalir ke semua kantong. Tanpa kebijakan pemerataan, kue ekonomi memang membesar, tapi yang kenyang tetap mereka yang duduk di meja terdepan.

Faktanya, per Juni 2025, kredit UMKM sebagai penopang 97% lapangan kerja hanya mampu tumbuh 2%. Bandingkan dengan kredit korporasi besar yang melesat lebih dari 8%. Tanpa dorongan pembiayaan rakyat kecil, efek pertumbuhan hanya berputar di lingkaran atas, yaitu perusahaan besar, investor besar, dan kota besar.

Purbaya dan Janji Pertumbuhan 7%

Purbaya bukan orang sembarangan. Mantan Kepala Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dan ekonom kawakan ini tahu betul dapur fiskal negara. Strateginya jelas: optimalkan sistem fiskal yang ada, dorong pertumbuhan setinggi mungkin, dan percayalah kesejahteraan akan mengikuti.

Tapi di sinilah letak masalahnya. Pendekatan “tinggikan PDB, rakyat akan senang sendiri” terlalu simplistis.

Bayangkan begini: Pertama,  kalau perekonomian tumbuh 7%, tapi akses pendidikan dan kesehatan tetap timpang, anak-anak miskin tak akan otomatis melompat kelas sosialnya; Kedua, kalau ekspor baja dan nikel melejit, tapi petani jagung di Dompu dan nelayan di Belitung tak dapat pasar, apa artinya pertumbuhan buat mereka? Ketiga, kalau pertumbuhan terkonsentrasi di Jakarta dan Jawa Barat, sementara Papua dan NTT tertinggal, apa artinya kue besar yang hanya tersaji di satu meja?

Optimisme itu sah-sah saja. Tapi data berkata lain, yaitu kemiskinan masih 8,47% atau setara 23,85 juta orang. Pertumbuhan tinggi tak ada gunanya jika kemiskinan jalan di tempat dan kesenjangan antarwilayah makin menganga.

Kenyataan di Lapangan: Ekonomi Rakyat Masih Loyo

Pendorong pertumbuhan Indonesia hari ini mayoritas datang dari: (1) Konsumsi rumah tangga yang menopang 54% PDB; (2) Ekspor sawit, baja, dan kimia yang melejit 10,67%; (3) Pembangunan infrastruktur dan investasi barang modal yang naik 6,99%.

Tapi di bawah permukaan, daya beli kelas menengah-bawah rapuh. Inflasi rendah memang membantu, tapi penghasilan sebagian besar pekerja tak beranjak. Kredit mikro seret, lapangan kerja formal terbatas, dan biaya hidup kota naik diam-diam.

Dengan kata lain ekonomi tumbuh, tapi tidak semua dompet ikut gemuk.

Trickle-Down Effect Sudah Mati

Selama bertahun-tahun kita diberi cerita tentang trickle-down effect yaitu ekonomi besar tumbuh, lalu rejeki menetes ke bawah. Teorinya indah. Praktiknya? Tidak lagi relevan.

International Monetary Fund (IMF) bahkan menyebut negara dengan ketimpangan tinggi justru rentan stagnasi jangka panjang. Artinya, tanpa kebijakan redistribusi dan pemerataan akses, pertumbuhan 7% sekalipun dapat “kosong gizi”.

Dunia sudah bergeser ke paradigma pertumbuhan inklusif, bukan sekadar membesarkan kue, tapi memastikan semua orang dapat potongannya.

Apa yang Perlu Dilakukan Pemerintah

Kalau Menkeu serius mau membuat pertumbuhan 7% terasa sampai ke meja makan rakyat, ada beberapa pekerjaan rumah besar:

  • Dorong pertumbuhan padat karya, bukan sekadar padat modal. Industrialisasi berbasis tenaga kerja, digitalisasi UMKM, dan hilirisasi Sumber Daya Alam (SDA) harus jalan beriringan;
  • Perbesar akses pembiayaan UMKM. UMKM menyumbang 60% PDB dan 97% lapangan kerja. Kalau kreditnya cuma naik 2%, maka pertumbuhan hanya dinikmati korporasi besar;
  • Perkuat jaring pengaman sosial. Pendidikan gratis, bantuan tunai adaptif, dan subsidi pangan harus diperluas. Redistribusi pendapatan yang tepat sasaran bukan hanya adil, tapi juga efektif menjaga konsumsi;
  • Pemerataan antarwilayah. Jawa menyumbang 56,94% PDB, sementara Papua dan Maluku hanya 2,67%. Tanpa insentif investasi ke luar Jawa, kesenjangan antarwilayah akan makin parah;
  • Bangun kepercayaan publik. Tuntutan “17+8” bukan sekadar soal ekonomi, tapi juga tentang tata kelola, transparansi, dan keadilan. Rakyat mau pertumbuhan, tapi mereka juga menuntut pemerintahan yang bersih dan akuntabel.

Menatap 2026: Antara Harapan dan Kenyataan

Target pertumbuhan 6–7% pada 2026 dapat dicapai hanya jika tiga hal terjadi sekaligus. Pertama, investasi produktif melonjak, bukan sekadar transaksi portofolio. Kedua, pembiayaan UMKM dipacu hingga lebih dari 8% per tahun. Ketiga, pendapatan 40% rakyat terbawah naik lebih cepat daripada rata-rata nasional.

Tanpa itu, kita akan kembali ke pola lama, yaitu angka PDB tampak cantik, tapi sebagian besar rakyat masih berkata, “Ekonomi tumbuh, kami kok tetap susah?” Pertumbuhan ekonomi adalah penting, tapi kesejahteraan rakyat lebih penting. 

Data sudah bicara saat ekonomi tumbuh, tapi jurang antara kaya dan miskin tetap menganga. Menkeu boleh optimistis, tapi fakta di lapangan memanggil pendekatan yang lebih inklusif.

Kita butuh kebijakan yang membuat pertumbuhan bukan hanya terlihat indah di grafik, tapi terasa nyata di dapur-dapur rakyat. Kalau tidak, pertumbuhan 7% hanya akan jadi angka statistik, bukan cerita kesejahteraan.(AM)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun