Indonesia baru saja memamerkan rapor ekonomi kuartal II 2025: PDB tumbuh 5,12%, inflasi jinak di 2,31%, dan Bank Indonesia bahkan sudah memangkas suku bunga jadi 5,0% untuk memacu investasi dan konsumsi. Angkanya tampak menggembirakan. Di atas kertas, semua terlihat baik-baik saja.
Lalu datang pernyataan Menteri Keuangan baru, Purbaya Yudhi Sadewa, yang mengundang diskusi panjang: "Kalau ekonomi dapat tumbuh 6 sampai 7 persen, rakyat bakal sibuk cari kerja, belanja, dan bahagia. Tuntutan-tuntutan demo itu akan hilang sendiri."
Kedengarannya optimistis, bahkan menggoda. Tapi pertanyaannya: apakah pertumbuhan tinggi otomatis membuat rakyat sejahtera?
Jawaban sederhananya: TIDAK.
Pertumbuhan versus Kesejahteraan: Dua Dunia yang Tak Selalu Bertemu
Mari kita bicara angka. Rasio Gini Indonesia per Maret 2025 berada di 0,375, sedikit membaik dari 0,381 di September 2024. Artinya, kesenjangan memang turun, tapi belum hilang. 20% kelompok terkaya masih menguasai hampir setengah konsumsi nasional, sementara 40% kelompok termiskin cuma kebagian 17%.
Pertumbuhan 5% hari ini, bahkan 7% sekalipun, tidak otomatis mengalir ke semua kantong. Tanpa kebijakan pemerataan, kue ekonomi memang membesar, tapi yang kenyang tetap mereka yang duduk di meja terdepan.
Faktanya, per Juni 2025, kredit UMKM sebagai penopang 97% lapangan kerja hanya mampu tumbuh 2%. Bandingkan dengan kredit korporasi besar yang melesat lebih dari 8%. Tanpa dorongan pembiayaan rakyat kecil, efek pertumbuhan hanya berputar di lingkaran atas, yaitu perusahaan besar, investor besar, dan kota besar.
Purbaya dan Janji Pertumbuhan 7%
Purbaya bukan orang sembarangan. Mantan Kepala Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dan ekonom kawakan ini tahu betul dapur fiskal negara. Strateginya jelas: optimalkan sistem fiskal yang ada, dorong pertumbuhan setinggi mungkin, dan percayalah kesejahteraan akan mengikuti.