1. Ambiguitas Pengukuran
Nilai kerugian negara tidak pernah pasti. Hari ini bisa rugi karena kurs, esok bisa untung karena harga naik. Seperti pedagang pasar: harga cabai naik-turun, tidak bisa dijadikan bukti kriminal.
2. Mengabaikan Keniscayaan Rugi
Dalam bisnis, kerugian itu biasa. Bahkan perusahaan besar pun pernah gagal. Jika pejabat negara tidak diberi ruang gagal, ia akan memilih aman, menolak berinovasi, dan akhirnya masyarakat kehilangan peluang kemajuan.
3. Kriminalisasi Keputusan Administratif
Kesalahan manajerial --- misalnya salah perhitungan biaya atau jadwal proyek molor --- bisa dijerat seolah-olah korupsi. Padahal itu beda jauh: salah hitung bukan berarti mencuri. Sama seperti murid salah hitung matematika, bukan kriminal.
4. Ketidakpastian Hukum & Over-Penuntutan
Seorang pejabat membuat keputusan hari ini dengan niat baik. Sepuluh tahun kemudian, ketika kondisi ekonomi berubah, keputusan itu bisa dianggap korupsi. Situasi ini membuat pejabat hidup dalam ketakutan, selalu was-was.
5. Mengabaikan Integritas
Hakikat korupsi adalah niat jahat dan penyalahgunaan kekuasaan. Jika hanya angka kerugian dijadikan ukuran, pejabat yang jujur bisa dihukum, sementara niat busuk kadang lolos. Hukum jadi tidak adil dan menyesatkan.
Pihak kontra berargumen: unsur kerugian negara memberi batasan objektif untuk menjerat koruptor, apalagi saat pembuktian mens rea (niat buruk) sulit.