Langkah ini adalah bentuk rekonsiliasi. Teknologi digunakan untuk memperkuat nilai-nilai lama, bukan menggantikannya. Buku cetak tetap hidup, tapi kini punya roh digital yang membuatnya relevan tanpa kehilangan identitas aslinya.
Di Mana Buku Dihidupkan?
Masalahnya, digitalisasi sering menggerus ruang-ruang fisik yang dulunya jadi jantung budaya literasi. Toko buku independen tutup satu per satu. Perpustakaan sepi pengunjung, dan festival buku kehilangan gaungnya karena semua idiom "semua ada di internet."
Padahal di ruang-ruang itulah buku mendapat nyawanya. Di rak-rak buku. Di meja kayu. Di tumpukan majalah. Lengkap dengan bau kopi yang menemani sesi membaca.Â
Semua itu mencipta atmosfer yang membentuk hubungan emosional kita dengan buku. Tanpa ruang fisik, buku hanya jadi objek tunggal yang dikonsumsi dalam sunyi. Bukan bagian dari budaya yang dirayakan bersama.
Kita harus sadar bahwa mempertahankan buku fisik bukan berarti mengorbankan lingkungan.Â
Banyak penerbit kini mulai beralih ke kertas daur ulang, proses cetak ramah lingkungan, dan distribusi lokal untuk mengurangi jejak karbon. Jadi mempertahankan buku cetak tidak harus menjadi musuh dari keberlanjutan. Asal dilakukan dengan bijak.
Yang perlu ditekankan adalah keseimbangan. Pemerintah, komunitas literasi, dan pelaku industri perlu kebijakan dan program yang mendukung eksistensi ruang fisik untuk literasi.Â
Festival buku, toko buku lokal, dan perpustakaan harus tetap jadi bagian dari ekosistem. Bukan sekadar nostalgia, tapi kebutuhan budaya. Agar bookworm selalu dipandang kalcer.
Saat Buku Lebih dari Sekadar Cerita
Ini bukan sekadar perdebatan antara cetak dan digital. Ini adalah tentang apa arti sebuah buku bagi kita sebagai manusia dan sebagai masyarakat. Apa kita hanya membutuhkan teks? Atau kita juga butuh sentuhan, suasana, dan jejak waktu darinya?
Buku fisik dengan segenap kerentanannya adalah simbol peradaban. Ia tak hanya dibaca. Tapi disimpan, diwariskan, dan dikenang.Â
Dalam budaya kita, buku di rak rumah bukan cuma koleksi. Buku adalah peta batin. Ia dokumentasi perjalanan berpikir. Bahkan warisan tak tertulis.