Mohon tunggu...
Aidhil Pratama
Aidhil Pratama Mohon Tunggu... ASN | Narablog

Minat pada Humaniora, Kebijakan Publik, Digital Marketing dan AI. Domisili Makassar.

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Apa yang Hilang Saat Lembaran Buku Tak Lagi Dibaca?

7 Mei 2025   01:00 Diperbarui: 5 Mei 2025   19:59 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sentuhan kertas masih dipilih di era layar digital. (Gambar digenerate DreaminaAI)

Di era digital, survei ungkap buku fisik dicinta. Mengapa sentuhan kertas tetap berharga bagi pembaca Indonesia?

Buku fisik adalah pintu ke dunia lain. Ada sensasi khusus ketika jari menyentuh kertas, mencium aroma tinta yang khas, dan membalik halaman demi halaman. 

Kini semua itu mulai tergantikan. Di tahun 2025, kita hidup dalam dunia di mana membaca bisa dilakukan di mana saja. Lewat layar ponsel, tablet, atau cukup dengan mendengarkan suara narator di audiobook.

Di tengah segala kemudahan ini, muncul pertanyaan penting. 

Apa yang sebenarnya kita pertaruhkan saat buku fisik mulai tersingkir? Apakah ini hanya tentang bentuk media, atau lebih dalam, tentang identitas budaya yang perlahan memudar?

Lebih dari Sekadar Bacaan, Buku Adalah Identitas

Banyak orang berpikir, selama isinya sama, membaca lewat e-book atau buku fisik tak ada bedanya. Tapi dalam kajian budaya, cara kita berinteraksi dengan sebuah buku memengaruhi cara kita memaknainya. 

Buku cetak bukan hanya alat baca. Buku cetak adalah artefak budaya, simbol estetika, dan bahkan perpanjangan dari identitas pribadi.

Coba pikir, kenapa ada orang yang rela menghabiskan jutaan rupiah untuk edisi pertama novel favoritnya? Kenapa ada rak buku yang dirawat seperti altar pribadi? 

Karena di sana ada nilai emosional, estetis, dan historis yang tak bisa digantikan oleh file PDF.

Data dari Asosiasi Penerbit Indonesia (API), yang dimuat dalam Blog.bukusaya.id (2025), menunjukkan bahwa penjualan buku cetak di Indonesia justru mengalami pertumbuhan stabil. 

Bahkan saat e-book dan audiobook merangsek masuk ke pasar. Ini bukan anomali, tapi sinyal kuat bahwa masyarakat masih menghargai buku fisik sebagai bagian dari kultur.

Lebih lanjut, survei nasional yang dilakukan oleh Goodstats pada tahun 2025 mencatat bahwa 81,5% pembaca Indonesia menyatakan akan terus membeli dan membaca buku fisik meski format digital semakin menjamur (Goodstats.id, 2025). 

Ini menunjukkan bahwa dalam masyarakat kita, membaca bukan cuma soal konsumsi informasi. Tapi juga pengalaman, keterikatan, dan pernyataan siapa kita sebenarnya.

Buku cetak punya kemampuan merekam jejak kehidupan pembacanya. 

Sebuah novel yang penuh coretan, catatan pinggir, atau bahkan lipatan di ujung halaman adalah bagian dari perjalanan intelektual dan emosional seseorang. 

E-book? Ia tetap bersih, steril, dan tanpa bekas. Praktis, iya. Tapi apa e-book punya jiwa?

Rekonsiliasi Antara Tradisi dan Teknologi

Bukan berarti buku digital tidak punya tempat. Teknologi digital memberi akses lebih luas, mempercepat distribusi, dan membuka kesempatan membaca bagi mereka yang mungkin tak bisa menjangkau toko buku fisik. 

Di daerah terpencil misalnya, e-book bisa jadi penyelamat literasi.

Karena itu pendekatan yang realistis bukan memusuhi teknologi. Tapi menggunakannya secara cerdas. Dunia penerbitan mulai mengembangkan model hibrid yang menggabungkan kekuatan kedua format ini. 

Dalam laman Bintang Pustaka (2025), dijelaskan bahwa penerbit kini menyisipkan QR code interaktif dan akses e-book gratis dalam edisi cetak. Ini bukan sekadar gimmick pemasaran. 

Tapi strategi untuk menjembatani dua generasi pembaca. Mereka yang menghargai pengalaman fisik. Mereka yang menginginkan fleksibilitas digital.

Langkah ini adalah bentuk rekonsiliasi. Teknologi digunakan untuk memperkuat nilai-nilai lama, bukan menggantikannya. Buku cetak tetap hidup, tapi kini punya roh digital yang membuatnya relevan tanpa kehilangan identitas aslinya.

Di Mana Buku Dihidupkan?

Masalahnya, digitalisasi sering menggerus ruang-ruang fisik yang dulunya jadi jantung budaya literasi. Toko buku independen tutup satu per satu. Perpustakaan sepi pengunjung, dan festival buku kehilangan gaungnya karena semua idiom "semua ada di internet."

Padahal di ruang-ruang itulah buku mendapat nyawanya. Di rak-rak buku. Di meja kayu. Di tumpukan majalah. Lengkap dengan bau kopi yang menemani sesi membaca. 

Semua itu mencipta atmosfer yang membentuk hubungan emosional kita dengan buku. Tanpa ruang fisik, buku hanya jadi objek tunggal yang dikonsumsi dalam sunyi. Bukan bagian dari budaya yang dirayakan bersama.

Kita harus sadar bahwa mempertahankan buku fisik bukan berarti mengorbankan lingkungan. 

Banyak penerbit kini mulai beralih ke kertas daur ulang, proses cetak ramah lingkungan, dan distribusi lokal untuk mengurangi jejak karbon. Jadi mempertahankan buku cetak tidak harus menjadi musuh dari keberlanjutan. Asal dilakukan dengan bijak.

Yang perlu ditekankan adalah keseimbangan. Pemerintah, komunitas literasi, dan pelaku industri perlu kebijakan dan program yang mendukung eksistensi ruang fisik untuk literasi. 

Festival buku, toko buku lokal, dan perpustakaan harus tetap jadi bagian dari ekosistem. Bukan sekadar nostalgia, tapi kebutuhan budaya. Agar bookworm selalu dipandang kalcer.

Saat Buku Lebih dari Sekadar Cerita

Ini bukan sekadar perdebatan antara cetak dan digital. Ini adalah tentang apa arti sebuah buku bagi kita sebagai manusia dan sebagai masyarakat. Apa kita hanya membutuhkan teks? Atau kita juga butuh sentuhan, suasana, dan jejak waktu darinya?

Buku fisik dengan segenap kerentanannya adalah simbol peradaban. Ia tak hanya dibaca. Tapi disimpan, diwariskan, dan dikenang. 

Dalam budaya kita, buku di rak rumah bukan cuma koleksi. Buku adalah peta batin. Ia dokumentasi perjalanan berpikir. Bahkan warisan tak tertulis.

Teknologi akan terus berkembang. E-book dan audiobook akan terus menjamur. Tapi itu bukan alasan untuk menanggalkan buku fisik begitu saja. Karena ketika buku kehilangan tubuhnya, kita kehilangan sebagian dari jiwa kita.

Saat kamu membeli buku, jangan hanya lihat harganya atau praktis tidaknya. Sadari bahwa apa yang kamu pegang adalah warisan budaya, identitas pribadi, dan secuil peradaban yang bisa kamu bawa pulang.

***

Referensi:

  • Blog BukuSaya. (2025, April 1). Apakah tren buku fisik akan bertahan di era digital? Retrieved from [https:  //blog.  bukusaya.  id/2025/04/01/apakah-tren-buku-fisik-akan-bertahan-di-era-digital/]
  • Goodstats. (n.d.). Survei Goodstats: Masih gemarkah publik Indonesia baca buku di era digital? Retrieved from [https:  //goodstats.  id/article/survei-goodstats-masih-gemarkah-publik-indonesia-baca-buku-di-era-digital-b2rhO]
  • Bintang Pustaka. (2025). Tren dunia penerbitan 2025: Digitalisasi dan masa depan buku cetak. Retrieved from [https:  //bintangpustaka.  com/tren-dunia-penerbitan-2025-digitalisasi-dan-masa-depan-buku-cetak/]

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun