Mohon tunggu...
Ahmad Jefri
Ahmad Jefri Mohon Tunggu... Penulis - berbagi untuk kehidupan bersama yang lebih baik

'' hidup yang sesa'at harus bermanfaat untuk orang lain''

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

ARYO dan Hidupnya (Catatan Hidup Sang Penulis)

6 Mei 2021   17:53 Diperbarui: 6 Mei 2021   18:14 600
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

-persepsi warga mayoritas yang mengangap orang tionghoa adalah orang china, sehingga mereka bukan bagian dari pribumi

Perbedaan kontras yang memisahkan garis relasi antara orang-orang tionghoa dan warga mayoritas sangatlah jauh, hal ini memicu banyak sekali permasalahan sosial, terutama menguatnya prihal tentang rasialisme berwajah kebencian, diskriminatif berbentuk pelayanan yang tidak adil terhadap orang-orang tionghoa, fanatisme melekatkan identitas dengan membenci perbedaan lain, terciptanya tembok prasangka (hidup dengan rasa saling curiga), keadaan seperti ini adalah keadaan masyarakat yang akan selalu terseret atas nama rasa saling terasing di dalam perbedaan, bak gunung es, hal ini seperti bom waktu yang setiap saat dapat meledakan dirinya, apa yang di butuhkan agar setatus keterasingan etnik tionghoa di negara ini dapat tercerabut, sehingga mampu menjadi bagian yang dapat di terima oleh semua lapisan kalangan manusia di negara ini, dalam hal ini penulis mencoba memberikan beberapa tanggapan solusi;

-membangun ingatan kolektif

Ingatan kolektiv adalah sebuah ingatan yang tidak hanya di serap oleh setiap individu, melainkan ingatan yang mampu mengendap di dalam fikiran setiap individu individu yang selalu bertalian (berhubungan dalam konteks yang sama) , dalam hal ini ingatan terbangun tidak teruntuk setiap individu yang menyadarinya, melainkan menjadikan jamak (banyak), tentu ini membuat semua golongan manusia (lapisan masyarakat) mengingat suatu peristiwa dalam porsi kesadaran yang sama, ketika setatus masyarakat memiliki kesadaran yang sama dalam ingatan, hal ini sangat memungkinkan terciptanya suatu kesadaran kolektiv  yang akan terus terpelihara dan tersampaikan antar lintas generasi, ingatan kolektiv adalah sebuah jembatan yang dapat menghubungkan proses rekonsiliasi untuk tujuan perdamaian itu sendiri, ini berkenaan dengan konflik masa lalu yang belum terselesaikan sehingga menciptakan struktur masyarakat yang di isi oleh dendam, kebencian maupun prasangka buruk.

Ingatan kolektiv menciptakan sebuah peroses belajar di dalam masyarakat agar tidak mengulangi setiap konflik yang sama di masa lalu, hal ini berkenaan dengan etnik tionghoa yang mengalami  peristiwa buruk di masa lalu, pembantaian (masa pemerintahan VOC), kebijakan diskriminatif (ORDE LAMA dan ORDE BARU), tumbal dari reformasi  yang berakhir dengan penjarahan dan pemerkosaan (kerusuhan mei 1998) pernah di alami oleh orang-orang  tionghoa di negara ini, setiap konflik/ peristiwa buruk di masa lalu haruslah menjadi pendorong untuk merubah dan tidak mengulangi hal yang sama di masa depan, pendorong itu dapat terlaksana jika semua kalangan masyarakat mengendapkan memory mereka di dalam ingatan kolektiv, dalam kesadaran melalui ingatan kolektiv hal ini selalu memungkinkan terciptanya rasa empati (kemampuan untuk memahami perasaan manusia ain), rasa empati tumbuh atas dorongan rasa kemanusiaan itu sendiri.

                Rasa empati tumbuh tidak dalam batasan identitas, melainkan identitas itu terlampaui oleh rasa kemanusiaan itu sendiri, tolak ukur ini dapat di lihat oleh setatus korban yang selalu termarginalisasi dalam kasus-kasus kejahatan besar, sehingga menggugah nurani setiap individu untuk tidak melakukan hal yang sama di saat ini maupun di masa yang akan datang, serta  mencoba memahami korban dalam perspektiv sikap bersahabat, seperti lahirnya kepedulian dan toleransi, buah dari semua ini adalah terciptanya ruang keterbukaan yang melenyapkan stigma-stigma buruk yang terjadi akbibat dari konflik masa lalu, melalui ruang ingatan kolektiv membuat kita memahami bahwa setiap peristiwa yang terjadi, yang mengusik nurani kita sebagai conscience (mahluk berhati nurani) membangunkan sikap heroisme (keberanian untuk bertindak secara adil) kita untuk memilih tidak melupakan dan menjadikanya sebagai pelajaran berharga di saat ini maupun di masa yang akan datang.

-proses asimilasi yang terintegrasi, terutama menghapuskan stigma orang china untuk warga tionghoa

Stigma yang membuat perbedaan kontras antara warga mayoritas dan warga tionghoa adalah asumsi bahwa orang tionghoa adalah orang china, begitu sangat melekat sampai dengan saat ini, padahal ketika kita memahami kondisi kultural warga tionghoa melalui ruang lingkup proses kehidupan mereka di negara ini, setatus mereka sangatlah tak terbantahkan, bahwa mereka adalah bagian dari warga negara indonesia dan mereka asli indonesia, nenek moyang mereka mungkin berasal dari china, namun itu berlangsung selama ribuan tahun lalu, mereka terlahir di tanah ini, dan akan terkubur di tanah ini juga, orang tua mereka, kakek,buyut mereka  juga memiliki proses sama (lahir di indonesia), mereka memiliki rumah berserta sertifikatnya yang sah, memiliki kartu tanda penduduk (KTP), membayar tagihan listrik, membayar pajak, mereka mentaati konstitusi, mereka berpartisipasi dalam pemilihan umum, ini adalah suatu proses cara hidup yang sama yang di lakukan manusia manapun di negara ini.

Konteks sebutan orang china terhadap warga tionghoa di negara ini sangatlah tidak relevan, hal ini hanya sebuah penyesatan yang dapat memecah belah keutuhan kita sebagai sebuah bangsa yang majemuk (multikultur), dalam kondisi ini warga masyarakat harus memahami bahwa identitas orang tionghoa bukanlah orang china, tetapi mereka adalah orang indonesia, meskipun secara biologis memiliki ketebalan garis perbedaan kontras (kulit putih, bermata sipit), tetapi mereka adalah manusia indonesia dengan latar belakang proses hidup yang sama, mereka memiliki budaya, bahasa, kepercayaan (agama) tersendiri, mereka tetaplah menjadi kesatuan indonesia dengan wajah multikulturnya (di isi oleh beragam suku, budaya, bahasa dan agama) pemahaman ini haruslah menjadi buah kesadaran untuk menciptakan kehidupan harmonis tanpa sekat maupun rasa saling terasing.

Dalam hal ini kita di haruskan memiliki cara pandang obyektiv untuk tidak melekatkan asumsi warga tionghoa sebagai orang china, kesadaran di mulai ketika kita membicarakan kata sebutan ''china'' terhadap warga tionghoa sebagai suatu hal yang tabu, kata ini bisa di ganti dengan ''orang tionghoa''/ ''warga tionghoa'', hal ini mengacu terhadap sebutan setiap suku yang ada di indonesia, seperti ''orang jawa'', ''orang sunda'', ''orang betawi'' dst., setelah itu kita dapat memberi edukasi terhadap generasi penerus tentang pemahaman  warga tionghoa di indonesia adalah bagian integral yang tak terpisahkan dari kesatuan wilayah NKRI itu sendiri, edukasi di mulai dari kurikulum pendidikan kita, di mana di haruskanya setiap siswa mengenal latar belakang suku, budaya, bahasa, agama, negaranya yang sangat beragam (multikultur) sehingga memberi dirinya setetes penyadaran, bahwa di bumi indonesia ini kita tidak tinggal sendiri, melainkan kita tinggal di bumi yang sangat multikultur, dan keberagaman adalah suatu keniscayaan yang tidak dapat di tolak keberadaanya.

         - membangun sebuah habitus yang tepat di dalam hubungan sosial

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
  19. 19
  20. 20
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun