"Hutan ini bukan tempat untuk menebus," jawab Haruna. "Tapi untuk memaafkan... atau melupakan."
Wajah Haruna mulai pecah seperti kaca, berubah menjadi bayangan-bayangan lain seorang pria tua yang menangis, seorang anak kecil memeluk boneka, seorang wanita dengan mata kosong. Mereka semua... pantulan luka.
Dan hutan mulai runtuh.
Langit-langit kabut pecah, tanah terbelah, cermin hancur. Ryota berlari menuju Haruna, mencoba menggenggam bayangannya. Tapi sebelum ia menyentuh, segalanya putih.
Ia terbangun dengan napas tersengal, terbaring di samping pohon tua. Lentera Haruki tergantung di atasnya.
Di genggamannya, hanya tersisa selembar foto: Haruna tersenyum, berdiri di depan sekolah mereka. Tidak ada kabut. Tidak ada darah. Hanya kenangan yang utuh.
Ia menangis pelan. Bukan karena kehilangan. Tapi karena akhirnya bisa melepas.
Bab 7: Jalan Pulang
Angin pagi menyentuh kulit Ryota seperti pertama kali dalam hidupnya. Udara Aokigahara tak lagi menusuk. Kabut telah menipis, dan sinar matahari menari malu-malu di sela dedaunan.
Ia duduk bersandar di pohon tua, tubuhnya lelah namun ringan. Tak jauh darinya, lentera milik Haruki masih menyala redup, seolah menunggu.
Ketika Ryota berdiri, sesuatu terasa berbeda. Dunia hutan tak lagi mengintai. Pohon-pohon tampak biasa. Sunyi yang mencekam telah berganti menjadi keheningan damai.