Haruki menghela napas panjang. "Kalau begitu, kau harus bersiap. Karena mulai saat ini... hutan tidak akan menganggapmu tamu lagi."
Bab 6: Pintu Langit
Subuh merayap perlahan di balik pepohonan Aokigahara, tapi cahaya matahari nyaris tak menembus ke dasar hutan. Ryota berdiri di ambang pintu pondok Haruki, mengenakan mantel lama yang dipinjam dari si tua itu. Di tangannya, terselip foto Haruna, potongan peta buatan tangan, dan seutas tali merah yang Haruki sebut sebagai "pengikat jiwa."
"Pintu Langit," kata Haruki, "bukan tempat sebenarnya. Ia muncul hanya bagi yang dicari, atau yang mencari terlalu dalam. Kau harus tahu, setelah melewatinya, tak semua bisa kembali."
Ryota mengangguk. Tak ada rasa ragu di matanya, hanya kekosongan yang telah lama tumbuh jadi tekad.
Ia berjalan melewati jalur yang ditandai Haruki, mengikuti akar-akar pohon besar yang melengkung seperti jari-jari mengarah ke pusat. Kabut tebal seperti tirai hidup, menyibak hanya saat ia melangkah, lalu kembali menutup seperti menelan jejaknya.
Tiga puluh menit kemudian, ia melihatnya.
Sebuah pohon tua berdiri di tengah tanah yang lebih tinggi, akarnya mencuat seperti singgasana. Di depannya ada batu besar dengan ukiran simbol spiral dan mata, yang sama seperti yang pernah ia temui. Di bawah pohon itu, menggantung tali-tali kuning usang, ratusan jumlahnya---bekas tali para pendaki yang tak pernah kembali.
Namun yang membuat Ryota menahan napas adalah... lubang di pangkal pohon, cukup besar untuk dimasuki orang dewasa. Gelap, tak berdasar.
Inikah... Pintu Langit?
Udara berubah. Tidak dingin, tapi sunyi. Sunyi yang bukan karena tak ada suara, tapi karena semua suara ditelan.