Mohon tunggu...
Ahmad Faizal Abidin
Ahmad Faizal Abidin Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa dan Guru PAUD

Terkadang, saya hanya seorang mahasiswa yang berusaha menulis hal-hal bermanfaat serta menyuarakan isu-isu hangat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Serangan Fajar Berlumuran Uang: Sebuah Kisah Demokrasi yang Tercoreng

14 Februari 2024   06:03 Diperbarui: 14 Februari 2024   06:15 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
belitongekspres.disway.id

"Ini baru permulaan, Nay," Rani berpesan melalui video call. "Kita harus terus mengawasi jalannya pemerintahan, memastikan tidak ada lagi praktik kotor yang terjadi."

"Betul, Ran," Naya tersenyum. "Perjuangan kita belum selesai. Kita harus terus bersatu, bersuara, dan berani melawan ketidakadilan demi masa depan demokrasi Indonesia yang lebih baik."

Bara, yang kini menjadi aktivis pemilu nasional, mengangkat tangannya membentuk kepalan. "Bersama, kita bisa! Demokrasi Indonesia akan terus bergema!"

Kisah Naya, Bara, Rani, dan para pendukung mereka menjadi inspirasi bagi banyak orang. Mereka membuktikan bahwa dengan keberanian, persatuan, dan semangat pantang menyerah, perubahan menuju demokrasi yang lebih baik bisa diraih.

Namun, bisikan-bisikan ancaman masih terdengar samar-samar. Akankah mereka berhasil menjaga teguh demokrasi yang telah diperjuangkan dengan susah payah? Nantikan kisah selanjutnya...

Bab 5: Gelombang Balik yang Menerpa Lagi

Kemenangan diraih, namun euforia tak bertahan lama. Bisikan-bisikan ancaman bertransformasi menjadi aksi nyata. Bara, yang terus vokal menyuarakan keadilan, mendapat teror. Motornya dirusak, rumahnya dilempari batu, bahkan ia menerima pesan berisi ancaman pembunuhan.

Tak hanya Bara, Naya dan para aktivis di Desa Sukamaju pun tak luput dari intimidasi. Mereka difitnah, dikucilkan, bahkan diancam akan kehilangan pekerjaan. Ketakutan merayap, menguji keteguhan mereka.

"Nay, kita lanjutkan perjuangan ini atau mundur?" Asep bertanya setelah mendapat ancaman dari preman suruhan pihak lawan.

Naya menatap hamparan sawah yang menghijau di bawah sinar matahari pagi. "Ingat kata Mak Inah, Sep? Kejahatan nggak akan pernah menang. Kita nggak boleh mundur karena takut diintimidasi."

"Tapi mereka punya kuasa, Nay," desah Asep. "Kalau mereka terus menerus menekan, apa yang bisa kita lakukan?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun