Mohon tunggu...
Ahmad Faizal Abidin
Ahmad Faizal Abidin Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa dan Guru PAUD

Terkadang, saya hanya seorang mahasiswa yang berusaha menulis hal-hal bermanfaat serta menyuarakan isu-isu hangat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Serangan Fajar Berlumuran Uang: Sebuah Kisah Demokrasi yang Tercoreng

14 Februari 2024   06:03 Diperbarui: 14 Februari 2024   06:15 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
belitongekspres.disway.id

Sinopsis

Fajar, 14 Februari 2024. Hari penentuan bagi rakyat Indonesia untuk memilih pemimpin baru. Di balik gegap gempita coblosan, bayang-bayang politik uang menghantui. Serangan fajar, seperti virus, meracuni demokrasi yang seharusnya suci. Di sebuah desa terpencil di Jawa Barat, Naya, seorang gadis muda idealis, bertekad melawan praktik tercela ini. Di tengah tekanan keluarga dan godaan uang, dia teguh pada pendiriannya. Bersama sekelompok pemuda desa, Naya berusaha membuka mata masyarakat tentang bahaya politik uang. 

Di Jakarta, Bara, seorang jurnalis investigasi, mengendus aroma busuk di balik kampanye salah satu kandidat presiden. Dia nekat mengikuti jejak para pemburu suara, membongkar jaringan politik uang yang terstruktur dan rapi. Di luar negeri, Rani, seorang diaspora Indonesia di London, tergerak untuk membantu rakyatnya memilih dengan suara hati. Dia meluncurkan kampanye edukasi online, menyadarkan para WNI di luar negeri tentang bahaya politik uang.

Ketiga individu ini, dengan latar belakang yang berbeda, terhubung oleh tekad yang sama: menyelamatkan demokrasi Indonesia dari cengkeraman politik uang. Perjuangan mereka penuh rintangan dan bahaya. Ancaman, intimidasi, dan suap berusaha menghentikan mereka. Namun, mereka tak gentar. Semangat mereka terpatri pada keyakinan bahwa demokrasi yang sehat hanya bisa tercipta dengan suara rakyat yang murni. Fajar Berlumuran Uang bukan hanya sebuah novel tentang politik uang, tapi juga tentang harapan dan perlawanan. Ini adalah kisah tentang sekelompok orang yang berani melawan arus, demi masa depan Indonesia yang lebih baik.

Bab 1: Fajar Menipu


Embun pagi masih menggelayut di dedaunan saat Naya keluar dari gubuk kayu sederhana miliknya. Udara dingin khas pegunungan menusuk kulitnya, tapi tak setajam rasa gusar yang menggerogoti batinnya. Hari ini, 14 Februari 2024, hari pemilihan umum (Pemilu) serentak di Indonesia. Harusnya menjadi hari penuh harap, tapi bagi Naya, ia dibayangi awan mendung bernama "serangan fajar".

"Nay, sarapan dulu," suara Mak Inah, tetangga sekaligus orang tua pengganti Naya, terdengar lembut dari dalam gubuk.

Naya melangkah gontai, duduk di kursi bambu reyot. Matahari mulai mengintip malu-malu di sela pegunungan, namun tak mampu menerangi gurat kekhawatiran di wajah Naya.

"Nay, kamu kenapa murung? Hari ini hari pesta demokrasi, lho," celetuk Mak Inah sambil meletakkan sepiring nasi dan tempe goreng di hadapan Naya.

Naya mengaduk nasi tanpa semangat. "Miris, Mak. Semalam ada orang bagi-bagi amplop berisi uang, katanya buat coblos orang tertentu."

Mak Inah menghela napas, kerutan di wajahnya semakin dalam. "Itu politik uang, Nay. Dulu zaman Ibu, nggak ada kayak gitu. Orang milih pemimpin ya karena hati nurani, bukan karena diiming-imingi duit."

"Tapi Mak, sekarang orang kayak gitu banyak. Katanya kalau nggak nerima uang, suara kita percuma," lirih Naya.

"Percuma apanya? Suara kita itu harga diri, Nay! Harga diri bangsa Indonesia! Nggak boleh digadaikan demi recehan uang," tegas Mak Inah, suaranya bergetar menahan emosi.

Naya mengangguk pelan. Ia tahu Mak Inah benar. Tapi godaan uang itu nyata, apalagi bagi warga desanya yang hidup pas-pasan. Ia teringat Pak Diman, tetangga sebelah, yang pagi tadi terlihat sumringah menghitung lembar demi lembar uang dari amplop misterius.

"Nay, kamu inget cerita kakekmu tentang Pemilu pertama Indonesia?" Mak Inah mengalihkan perhatian Naya.

Naya mendongak, matanya berbinar. Kakeknya, seorang veteran pejuang kemerdekaan, sering bercerita tentang semangat para pahlawan memperjuangkan hak pilih. "Inget, Mak. Mereka rela berkorban nyawa demi hak kita memilih pemimpin dengan bebas, tanpa tekanan."

"Betul. Dan kebebasan itu harus kita jaga, Nay. Jangan biarkan dibeli dengan uang," pesan Mak Inah.

Naya mengepalkan tangan, tekad mengeras di hatinya. "Iya, Mak. Aku nggak akan jual suara aku! Aku akan lawan praktik kotor ini!"

Di Jakarta, gedung mewah milik seorang pengusaha tampak riuh rendah.

"Pak Bos, semua sudah beres. Uang sudah dibagikan ke daerah-daerah target," seorang pria berbadan tegap melapor.

Pria paruh baya yang disapa Pak Bos itu menyeringai. "Bagus. Pastikan kemenangan di tangan kita. Ingat, siapa pun yang menghalangi, sikat!"

Di London, Rani menatap layar laptopnya dengan gelisah.

Berita tentang dugaan politik uang di Pemilu Indonesia memenuhi layar. Rani tahu, meski jauh di perantauan, ia tak bisa tinggal diam.

"Aku harus melakukan sesuatu," gumam Rani. Ia mulai mengetik dengan cepat, merumuskan rencana kampanye edukasi online untuk para WNI di luar negeri, mengajak mereka menggunakan hak pilih dengan jujur.

Fajar semakin terang, menyinari tiga insan dari tiga tempat berbeda, yang sedang memperjuangkan keadilan dan demokrasi. Akankah mereka berhasil? Nantikan kelanjutan kisahnya...

Bab 2: Bisikan dan Bayangan

Matahari meninggi, memanaskan udara desa yang biasanya sejuk. Namun, ketegangan di TPS (Tempat Pemungutan Suara) Desa Sukamaju justru semakin dingin. Naya, dengan selembar karton bertuliskan "Tolak Politik Uang!" berdiri tegak di depan pintu masuk. Tatapannya tajam mengamati setiap orang yang hendak memasuki TPS.

"Eh, Naya, mau nyoblos ya?" sapa Pak Diman, tetangganya, dengan senyum kaku.

Naya balas tersenyum, tapi suaranya tegas. "Nggak, Pak. Saya cuma mau ingetin, jangan lupa gunakan hak pilih Bapak sesuai hati nurani, bukan karena iming-iming uang."

Pak Diman melirik ke belakang, gelisah. "Kamu ini ngomong apa, hah? Nggak usah sok suci!"

"Saya nggak sok suci, Pak. Tapi saya nggak mau demokrasi kita dirusak sama praktik kotor kaya gini!"

Suara Naya lantang, menarik perhatian warga lain yang mengantre. Beberapa berbisik-bisik, ada yang setuju, ada pula yang tak nyaman.

Tiba-tiba, sebuah mobil mewah berhenti di depan TPS. Seorang pria berjas keluar, diikuti beberapa preman berbadan tegap. Pria itu, yang dikenal sebagai kaki tangan Pak Bos, sang pengusaha kaya, langsung berjalan menghampiri Naya.

"Kamu Naya, kan?" ujarnya dengan nada mengintimidasi. "Minggir sana, ganggu pemilih lain!"

Naya tak bergeming. "Bapak yang ganggu demokrasi! Mau beli suara warga, ya?"

Pria berjas itu tertawa sinis. "Kamu anak ingusan ngerti apa? Ini sumbangan untuk pembangunan desa!"

"Pembangunan kok pakai sogok? Ngeles aja, Bapak!" Naya tak gentar meski preman-preman itu mulai mendekatinya.

Keributan itu membuat warga semakin resah. Beberapa pemuda desa yang melihat Naya dikeroyok mulai maju membantunya. Suasana tegang menyelimuti TPS.

Tiba-tiba, suara lantang Mak Inah memecah ketegangan. "Woi! Apa-apaan ini? Ganggu pemilu, ya?"

Mak Inah, dengan tongkat kayu di tangannya, berdiri tegap di depan Naya. Para pemuda desa pun ikut maju, membentuk pagar betis melindungi Naya dan Mak Inah.

Pria berjas itu terkejut melihat perlawanan warga. Ia melirik anak buahnya, memberi kode untuk mundur. Mereka tak ingin berurusan dengan warga yang sudah terlanjur emosi.

"Ingat ya, warga Sukamaju," Mak Inah bersuara lantang, "suara kita harga diri kita! Nggak bisa dibeli sama siapa pun!"

Warga bersorak sorai, mengelu-elukan Mak Inah dan Naya. Pria berjas itu dan anak buahnya pun akhirnya pergi dengan tangan hampa.

Di Jakarta, Bara menyelinap ke sebuah gedung tua yang disinyalir menjadi markas pembagian uang untuk praktik politik uang.

Menyamar sebagai petugas kebersihan, Bara berhasil masuk ke dalam. Ia melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana uang dibungkus dalam amplop dan dibagikan kepada orang-orang yang akan pergi ke daerah pemilihan.

Bara sigap mengambil foto dan merekam video sebagai bukti. Namun, aksinya ketahuan. Ia dikejar oleh para preman yang menjaga gedung itu.

Di London, kampanye edukasi online Rani mendapat sambutan positif dari WNI di luar negeri.

Banyak yang tergerak untuk ikut ambil bagian, menyebarkan informasi tentang pentingnya menggunakan hak pilih dengan jujur dan menolak politik uang.

Ketiga perjuangan itu, meski terpisah jarak, bersatu dalam semangat yang sama: menjaga demokrasi Indonesia dari ancaman praktik kotor.

Akankah perjuangan mereka membuahkan hasil? Siapa yang akan menang dalam pertarungan antara idealisme dan uang? Nantikan kelanjutan kisahnya...

Bab 3: Berani Bersuara, Bertaruh Masa Depan

Hari semakin sore, antrian di TPS Desa Sukamaju mulai menipis. Naya, Mak Inah, dan para pemuda desa masih berjaga-jaga, memastikan tak ada lagi upaya intimidasi. Meski tegang, mereka lega karena aksi mereka berhasil menghalangi praktik politik uang di desa mereka.

"Nay, kamu bener-bener pemberani. Nggak takut sama sekali menghadapi gerombolan preman itu," puji Asep, salah satu pemuda desa.

Naya tersenyum tipis. "Kalau kita semua diam, siapa yang akan melawan ketidakadilan ini, Sep?"

Mak Inah menepuk bahu Naya dengan bangga. "Kamu udah nyalakan api semangat, Nay. Semoga warga lain juga ikut sadar pentingnya suara mereka."

Tiba-tiba, ponsel Naya berbunyi. Ia menerima pesan dari Rani, temannya yang sedang berada di London.

"Nay, kampanye kita viral! Banyak WNI di luar negeri tergerak untuk ikut menolak politik uang," bunyi pesan tersebut.

Naya matanya berbinar. Ia membalas pesan Rani, berbagi cerita tentang perjuangan mereka di Desa Sukamaju. Di kejauhan, tanpa mereka sadari, ada sepasang mata yang mengawasi mereka dari balik pohon.

Sementara itu, di Jakarta, Bara berhasil kabur dari kejaran preman dengan membawa bukti-bukti yang ia rekam.

Ia bergegas menuju kantor redaksi tempatnya bekerja, langsung menemui pemimpin redaksi, Pak Harto.

"Pak, ini bukti kecurangan pemilu yang dilakukan Pak Bos," Bara menunjukkan foto dan video yang ia peroleh.

Pak Harto terkejut melihat barang bukti itu. "Ini serius, Bara. Tapi kamu sadar ini bisa berbahaya?"

"Saya sadar, Pak. Tapi saya nggak bisa tinggal diam! Ini tentang masa depan demokrasi Indonesia," tegas Bara.

Pak Harto terdiam beberapa saat, lalu mengangguk mantap. "Kamu bener, Bara. Kita nggak boleh biarkan kecurangan ini terjadi. Mari kita bongkar praktik kotor ini!"

Berita investigasi Bara tentang praktik politik uang Pak Bos menjadi berita utama di media massa.

Opini publik geger. Masyarakat geram dan mendesak pihak berwajib untuk bertindak. Tekanan publik yang masif membuat pihak berwajib bergerak cepat. Mereka menangkap Pak Bos beserta kaki-tangannya sebagai tersangka kecurangan pemilu.

Di London, Rani terus menggalang kampanye online hingga hari pencoblosan berakhir.

Para WNI di luar negeri berbondong-bondong menggunakan hak pilih mereka secara online. Antusiasme mereka menjadi sorotan media internasional, sekaligus tamparan bagi praktik politik uang yang sedang marak di Indonesia.

Beberapa hari setelah pemilu, KPU mengumumkan hasil penghitungan suara.

Ada pergeseran suara yang signifikan di beberapa daerah yang sebelumnya menjadi target operasi politik uang Pak Bos. Para kandidat yang bersih dari praktik kotor tersebut meraih kemenangan.

Di Desa Sukamaju, warga berkumpul untuk menyaksikan pengumuman hasil pemilu di layar televisi.

Ketika nama calon yang didukung mereka keluar sebagai pemenang, sorak sorai membahana. Naya, Mak Inah, dan para pemuda desa saling berpelukan, air mata haru membasahi pipi mereka.

"Kita menang, Nay! Suara kita didengar!" seru Asep.

Naya mengangguk, matanya berkaca-kaca. "Ini kemenangan untuk demokrasi kita! Bukti bahwa suara rakyat, meski dikerdilkan, bisa tetap bergaung."

Kemenangan mereka memang belum sepenuhnya menghapus jejak hitam politik uang di Indonesia.

Tapi perjuangan Naya, Bara, Rani, dan para pendukung mereka telah menjadi titik terang, membuktikan bahwa harapan akan demokrasi yang jujur dan adil masih bisa diraih. Kisah mereka menjadi inspirasi bagi banyak orang untuk terus berani bersuara dan melawan segala bentuk kecurangan demi masa depan yang lebih baik.

Namun, perjuangan belum berakhir.

Para pelaku kecurangan pemilu masih bisa mengajukan banding. Ancaman dan intimidasi terhadap aktivis pemilu seperti Naya dan Bara pun mungkin terjadi. Akankah mereka bisa mempertahankan kemenangan demokrasi yang sudah diraih dengan susah payah?

Nantikan kelanjutan kisahnya...

Bab 4: Gelombang Balik yang Menerjang

Berita kemenangan calon yang didukung Naya dan kawan-kawan menyebar cepat bak api di rumput kering. Pesta demokrasi diwarnai kegembiraan, namun di sudut lain, ketegangan justru meningkat. Pihak Pak Bos tak terima kekalahan dan melancarkan berbagai upaya untuk membalikkan keadaan.

Di Jakarta, ruang kerja Pak Harto riuh rendah. Telepon terus berdering, reporter dari berbagai media berlomba-lomba meminta klarifikasi terkait investigasi Bara.

"Pak, tekanan dari pihak Pak Bos semakin besar. Mereka mengancam akan mencabut iklan dari media kita kalau berita investigasi itu nggak diturunkan," salah satu wartawan muda melaporkan dengan nada cemas.

Pak Harto mengelus dagunya, raut wajahnya serius. "Kita nggak bisa tunduk pada ancaman. Kebenaran harus tetap disuarakan meskipun berat."

Bara, yang turut hadir dalam diskusi, mengepalkan tangannya. "Betul, Pak. Kita nggak boleh biarkan mereka menginjak-injak demokrasi dan kebebasan pers!"

Meski mendapat tekanan, Pak Harto dan tim redaksi tak menyerah. Mereka terus menggali informasi, mencari bukti tambahan untuk memperkuat investigasi mereka.

Di Desa Sukamaju, kemenangan disambut dengan sukacita. Warga menggelar syukuran sederhana, berdoa untuk kelancaran proses penghitungan suara dan keadilan tetap ditegakkan.

Namun, kegelisahan mulai menghantui Naya. Ia menerima pesan anonim berisi ancaman, meminta mereka untuk tutup mulut dan mendukung kandidat yang kalah.

"Nggak usah takut, Nay," Asep berusaha menenangkan Naya. "Kita sudah bersatu, nggak akan biarkan mereka mengintimidasi kita."

"Tapi mereka punya kuasa, Sep," Naya lirih. "Apa yang bisa kita lakukan kalau mereka melawan dengan cara yang curang?"

Mak Inah, yang mendengar percakapan mereka, menghampiri Naya dan Asep. "Kejahatan nggak akan pernah menang, Nay. Kita harus tetap bersuara, sampaikan ke media nasional tentang ancaman yang kita terima."

Nasihat Mak Inah diamini Naya dan Asep. Mereka pun menghubungi Bara, menceritakan tentang ancaman yang mereka terima. Bara segera menghubungi media nasional, membuat berita tentang intimidasi yang dialami aktivis pemilu di daerah.

Berita intimidasi itu menjadi sorotan nasional. Publik geram dengan tindakan pihak yang tak sportif. Dukungan untuk Naya dan para aktivis pemilu pun mengalir deras.

Di ruang sidang, proses penghitungan suara berlangsung alot. Pihak Pak Bos mengajukan berbagai gugatan, menuduh terjadi kecurangan di beberapa daerah.

Bara dan tim redaksi hadir sebagai saksi ahli, menunjukkan bukti-bukti kecurangan yang dilakukan pihak Pak Bos. Persidangan disiarkan langsung oleh media, masyarakat menyaksikan dengan saksama.

Setelah melalui proses persidangan yang panjang, akhirnya keputusan final dikeluarkan. Hakim menolak semua gugatan pihak Pak Bos, kemenangan calon yang didukung Naya dan kawan-kawan tetap sah.

Kabar kemenangan disambut dengan sorak sorai di seluruh penjuru negeri. Naya, Bara, Rani, dan para pendukung mereka bersorak gembira, air mata haru mengalir membasahi pipi mereka.

Meski perjuangan mereka membuahkan hasil, Naya dan kawan-kawan sadar bahwa ini bukan akhir dari segalanya. Masih banyak tantangan yang harus dihadapi untuk mewujudkan demokrasi yang bersih dan adil di Indonesia.

"Ini baru permulaan, Nay," Rani berpesan melalui video call. "Kita harus terus mengawasi jalannya pemerintahan, memastikan tidak ada lagi praktik kotor yang terjadi."

"Betul, Ran," Naya tersenyum. "Perjuangan kita belum selesai. Kita harus terus bersatu, bersuara, dan berani melawan ketidakadilan demi masa depan demokrasi Indonesia yang lebih baik."

Bara, yang kini menjadi aktivis pemilu nasional, mengangkat tangannya membentuk kepalan. "Bersama, kita bisa! Demokrasi Indonesia akan terus bergema!"

Kisah Naya, Bara, Rani, dan para pendukung mereka menjadi inspirasi bagi banyak orang. Mereka membuktikan bahwa dengan keberanian, persatuan, dan semangat pantang menyerah, perubahan menuju demokrasi yang lebih baik bisa diraih.

Namun, bisikan-bisikan ancaman masih terdengar samar-samar. Akankah mereka berhasil menjaga teguh demokrasi yang telah diperjuangkan dengan susah payah? Nantikan kisah selanjutnya...

Bab 5: Gelombang Balik yang Menerpa Lagi

Kemenangan diraih, namun euforia tak bertahan lama. Bisikan-bisikan ancaman bertransformasi menjadi aksi nyata. Bara, yang terus vokal menyuarakan keadilan, mendapat teror. Motornya dirusak, rumahnya dilempari batu, bahkan ia menerima pesan berisi ancaman pembunuhan.

Tak hanya Bara, Naya dan para aktivis di Desa Sukamaju pun tak luput dari intimidasi. Mereka difitnah, dikucilkan, bahkan diancam akan kehilangan pekerjaan. Ketakutan merayap, menguji keteguhan mereka.

"Nay, kita lanjutkan perjuangan ini atau mundur?" Asep bertanya setelah mendapat ancaman dari preman suruhan pihak lawan.

Naya menatap hamparan sawah yang menghijau di bawah sinar matahari pagi. "Ingat kata Mak Inah, Sep? Kejahatan nggak akan pernah menang. Kita nggak boleh mundur karena takut diintimidasi."

"Tapi mereka punya kuasa, Nay," desah Asep. "Kalau mereka terus menerus menekan, apa yang bisa kita lakukan?"

Naya menepuk bahu Asep dengan semangat. "Kita punya kekuatan suara rakyat, Sep. Dan suara itu lebih kuat dari apapun. Kita nggak boleh diam, terus lawan ketidakadilan ini!"

Naya dan Asep tak tinggal diam. Mereka menggalang aksi solidaritas, mengajak warga untuk bersatu melawan intimidasi. Melalui media sosial, mereka menyebarkan informasi tentang ancaman yang mereka terima, menyuarakan pentingnya demokrasi yang bersih dan adil.

Rani, dari London, terus memberikan dukungan. Ia membuat petisi online yang mendapat ribuan tanda tangan dari WNI di seluruh dunia, mendesak pemerintah Indonesia untuk melindungi aktivis pemilu dan menegakkan hukum dengan adil.

Bara, meski dihantui rasa takut, tak berhenti melakukan investigasi. Ia menemukan bukti baru tentang keterlibatan oknum pejabat tinggi dalam upaya pembalikan suara. Dengan berani, ia mempublikasikan temuannya, menjadi sorotan publik dan media massa.

Tekanan publik semakin besar. Pihak berwajib tak bisa lagi tinggal diam. Mereka bergerak cepat menindaklanjuti laporan intimidasi dan ancaman terhadap aktivis pemilu. Beberapa pelaku ditangkap, namun dalang di baliknya masih misterius.

Persidangan kasus teror terhadap aktivis pemilu menjadi sorotan nasional. Masyarakat menanti keadilan ditegakkan, berharap para pelaku dihukum setimpal. Di tengah persidangan yang menegangkan, tiba-tiba muncul saksi kunci, seorang mantan anak buah pihak lawan yang berbalik arah.

"Saya diperintahkan untuk melakukan intimidasi dan ancaman terhadap para aktivis pemilu," ungkapnya di hadapan persidangan. "Tapi saya nggak tega melihat perjuangan mereka yang tulus untuk keadilan."

Kesaksian tersebut menjadi bukti kuat yang menjerat para pelaku utama. Akhirnya, keadilan ditegakkan. Para pelaku dijatuhi hukuman setimpal, hiruk-pikuk politik kotor mereda.

Naya, Bara, Rani, dan para aktivis pemilu lainnya disambut sebagai pahlawan demokrasi. Perjuangan mereka menginspirasi banyak orang untuk berani bersuara dan melawan ketidakadilan.

Namun, mereka sadar perjuangan belum usai. Masih banyak tantangan yang harus dihadapi untuk menjaga demokrasi tetap sehat. Mereka sepakat untuk terus bersatu, mengawasi jalannya pemerintahan, dan menjadi garda terdepan dalam melawan segala bentuk kecurangan.

Suatu hari, Naya, Bara, dan Rani berkumpul secara virtual. Layar monitor mereka menampilkan wajah-wajah penuh semangat dari berbagai penjuru Indonesia.

"Teman-teman," Naya membuka diskusi, "perjuangan kita belum berakhir. Mari kita jaga demokrasi ini bersama-sama, pastikan suara rakyat terus didengar dan keadilan selalu ditegakkan!"

Bara dan Rani mengangguk setuju. Ketiga insan yang berasal dari latar belakang berbeda itu kini bersatu, menjadi simbol harapan bagi demokrasi Indonesia yang lebih baik.

Bersama mereka, suara rakyat akan terus bergema, menjadi kekuatan yang tak bisa dibungkam. Kisah mereka tak hanya berakhir di sini, tapi menjadi inspirasi bagi generasi selanjutnya untuk terus memperjuangkan demokrasi yang jujur, adil, dan berpihak pada rakyat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun