Mohon tunggu...
Agustinus Gereda Tukan
Agustinus Gereda Tukan Mohon Tunggu... Penulis

Gemar membaca dan menulis, dengan karya narasi, cerpen, esai, dan artikel yang telah dimuat di berbagai media. Tertarik pada filsafat, bahasa, sastra, dan pendidikan. Berpegang pada moto: “Bukan banyaknya, melainkan mutunya,” selalu mengutamakan pemikiran kritis, kreatif, dan solusi inspiratif dalam setiap tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

[Novel] Musamus Tubuh Kecil Jiwa Besar, Episode 57-58

10 September 2025   04:25 Diperbarui: 9 September 2025   20:08 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cover Novel Musamus Tubuh Kecil Jiwa Besar (Dokumentasi Pribadi)

"Lihat... daunnya mulai merekah," ujar Rawari dengan suara serak lembut. Ia berdiri di samping Patu, menatap pucuk palem yang mengarah ke langit.

"Daun itu seperti jari Musamus," gumam Patu. "Menggenggam langit dari dalam tanah."

Di sekitar mereka, semut-semut bekerja tanpa henti. Ranting-ranting kecil yang diambil dari pinggiran rawa mulai dipasang menjadi rangka rumah. Dindingnya dirancang dari anyaman daun palem dan ilalang, disambung lumpur dan akar bambu yang kuat. Tapi rumah ini bukan sekadar tempat berteduh. Ini adalah bagian dari tubuh tanah, tumbuh perlahan seperti jamur setelah hujan.

"Kita tidak sedang membangun rumah," kata Patu kemudian. "Kita sedang menumbuhkan rumah."

"Apa bedanya?" tanya Tera, si semut muda, yang tengah menyusun ranting-ranting kayu bersama teman-temannya.

Patu menoleh dan tersenyum. "Kalau membangun, kita hanya menumpuk bahan. Tapi kalau menumbuhkan, kita mendengar suara tanah, napas air, dan detak jantung akar. Rumah itu akan hidup bersama kita."

Dari sisi rawa, suara gemercik air muncul. Seekor ikan gabus meloncat keluar dari genangan dan mendarat tepat di depan Patu.

"Patu, aku dengar kalian bangun sarang baru," katanya dengan napas pendek. "Apa kami boleh ikut tinggal?"

"Rumah ini bukan milik satu bangsa," jawab Patu. "Ini rumah untuk semua yang menjaga, bukan merusak."

Ikan itu menyeringai. "Aku janji tak akan menggali liang di bawah pondasi seperti dulu."

Dari balik semak, seekor kepiting merah muncul dengan seikat akar nipah di capitnya. "Aku bawa pengikat lumpur!" serunya. "Akar ini bisa jadi fondasi yang kuat. Kalau kalian ikat dengan batang bambu muda, dinding rumah tidak akan mudah rubuh."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun