"Aku dengar kalian membangun menara?" tanyanya ragu.
"Benar," jawab Rawari. "Bukan menara untuk melihat langit, tapi untuk memperkuat tanah ini dari dalam. Tempat semua makhluk bisa tinggal dan bernapas bersama."
"Tapi mengapa membangunnya di dalam tanah?" udang itu menggeliat, mencoba memahami.
Patu mendekat dan menepuk tubuh berlendir itu dengan lembut.
"Karena kekuatan tak selalu tumbuh ke atas," katanya. "Kadang, kekuatan justru lahir dari kedalaman yang gelap, dari lapisan lumpur yang lembab dan bau. Seperti akar-akar yang kau jaga dengan tubuhmu, bukan?"
Udang itu diam sejenak, lalu mengangguk. "Aku akan panggil belut-belut dari kolam selatan. Mereka bisa bantu menggali dengan tubuh mereka yang panjang."
Tak lama kemudian, suara gesekan tanah terdengar semakin banyak. Belut-belut datang, melata di sela-sela semut dan udang, bahu-membahu tanpa suara, menggali dan membuka jalan.
Patu berdiri mematung sesaat. "Musamus, lihatlah," gumamnya dalam hati. "Dari udara yang nyaris tak terlihat ini, dari napas yang mengendap di kedalaman, kami bangun kehidupan."
Sementara itu, dari permukaan, seekor burung rawa menyanyikan nada rendah. Suaranya menjalar masuk ke lubang ventilasi tanah dan menjadi gema yang menenangkan. Anak-anak semut yang masih belajar menggambar di tanah mendongak. Mereka menggambar garis-garis berliku yang menyerupai akar, sebuah lambang bahwa yang tak terlihat di atas, justru menopang segalanya.
"Patu," kata Rawari kemudian, "menara ini akan selesai dalam tiga malam. Tapi bagaimana dengan yang di atas? Apakah kita tidak akan bangun apa-apa di permukaan?"
"Kita akan tanam satu pohon palem di atasnya," jawab Patu. "Satu saja. Biar akarnya menembus ke dalam ruang ini, menyatu dengan lorong-lorong udara."